Jakarta, Gatra.com - Ketua Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI), Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan peran sektor swasta dalam memerangi korupsi perlu ditingkatkan. Musababnya, tindak pidana korupsi pelaku usaha berdampak buruk bagi dunia bisnis di Indonesia.
"Bukan saja karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan daya saing bisnis, namun juga meningkatkan 10% dari total biaya aktivitas bisnis secara global," kata Erry dalam dalam KAKI Forum, bertema Arah Kebijakan dan Tantangan Tahun 2023: Pencegahan Korupsi oleh Sektor Swasta, di Jakarta, Jumat (25/11).
Erry menyebut, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2004 hingga Juni 2022, tercatat ada 367 orang pelaku usaha yang terseret perkara tindak pidana korupsi. Angka itu menjadi yang tertinggi dibandingkan pelaku perkara korupsi dari kalangan anggota parlemen seperti DPR atau DPRD sebanyak 312 orang.
"Banyak modus yang dilakukan dalam sejumlah praktek korupsi di sektor swasta, antara lain pembayaran tambahan atau insentif lainnya untuk mempermudah dan melancarkan bisnis, yang tentunya sangat merugikan dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi dalam kegiatan bisnis," terang Erry.
Karena itu, Erry menilai sektor swasta memiliki peran penting dalam memberantas korupsi sehingga menciptakan solusi yang mendukung prioritas pembangunan Indonesia. Ia mendorong agar sektor swasta meningkatkan peran dalam menciptakan lingkungan bisnis yang bersih, transparan, dan akuntabel.
"Melalui ekosistem bisnis yang bebas korupsi, perekonomian Indonesia akan menarik lebih banyak investor dan memberikan potensi kerja sama bisnis jangka panjang," kata Erry.
Menurut Erry, pelaku usaha yang mampu meningkatkan transparansi dan menerapkan kebijakan anti korupsi serta kepatuhan maka perusahaan akan dapat mencapai bisnis yang berkelanjutan.
"Ketika mayoritas perusahaan mengadopsi praktik bisnis yang bersih lingkungan, bisnis akan berubah secara signifikan dan korupsi dalam segala bentuk atau menjadi praktik yang tidak dapat diterima," kata Erry.
Mantan Ketua KPK ini juga menjelaskan, meski belum ada undang-undang yang mengatur korupsi antara pihak swasta dan swasta, bukan berarti tidak ada kebijakan atau regulasi yang mengatur tindak pencegahan korupsi di sektor swasta.
"Korporasi saat ini bisa terjerat kasus korupsi jika tidak memiliki langkah-langkah kebijakan anti-korupsi," tegas Erry.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2017 menjadi pertama kalinya korporasi didakwa korupsi. Jumlah perkara yang melibatkan korporasi kemudian meningkat menjadi empat perusahaan pada tahun. 2018. Dengan demikian, Erry menilai tren penambahan itu mengartikan saat ini sektor swasta juga akan bertanggung jawab atas praktik korupsi mereka.
Dia pun memaparkan, berdasar pada PERMA no. 13 Tahun 2016, Sistem Anti Suap OJK, UU Gratifikasi, dan Program Profit KPK, penanggulangan tindak pidana korupsi tidak hanya terfokus pada sektor publik tetapi juga pada sektor swasta. Adapun untuk mencapai tujuan itu semua, Erry menekankan pentingya mewujudkan tindakan kolektif yang memperkuat serta mendukung terciptanya kolaborasi antara publik dan swasta menciptakan lingkungan yang bersih.
"Dengan bergerak bersama, sektor swasta akan memiliki teman-teman yang berpikiran sama untuk berjuang bersama dalam membangun integritas bisnis. Aliansi ini juga penting agar mereka memiliki saluran penyebaran dan pembahasan peraturan pemerintah yang baru, serta menyampaikan kepada pemerintah jika ada kebijakan yang tumpang tindih, tidak relevan, atau tidak sesuai dengan kondisi lapangan," imbuh Erry.