Kalbar, Gatra.com - Petani sawit harus naik kelas! Tagline inilah yang membikin Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) terus mendorong peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya anak-anak petani.
Tak lolos Beasiswa Sawit, Apkasindo tidak patah arang, cara lain tetap diusahakan, yang penting SDM anak-anak petani saban tahun terus meningkat.
Salah satunya seperti yang dilakukan di Kalimantan Barat (Kalbar) jelang siang tadi. Kesepakatan beasiswa dengan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalbar.
"Banyak tantangan yang sedang kami hadapi. Mulai dari hulu, hingga hilir. Ini semua muncul tentu lantaran kami melakukan banyak hal untuk petani kami," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung kepada Gatra.com usai memberikan kuliah umum di UNU Kalbar jelang sore tadi.
Tantangan tadi kata ayah dua anak ini antara lain, lambatnya serapan dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), harga Tandan Buah Segar (TBS) petani swadaya yang tidak terlindungi oleh regulasi, hingga banyaknya lahan petani sawit yang masih terkendala legalitas.
Semua kendala ini kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini tidak lepas dari Permentan 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa Sawit Produksi Pekebun, Permentan 03 tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit dan Peraturan Presiden (Perpres) 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
"Permentan 03 tahun 2022 itu membikin rumit. Syarat PSR membengkak hingga 38 persyaratan. Wajib dapat surat bebas gambut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membikin petani makin pening," ujar doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini.
Kalau Permentan 01 tahun 2018 lain pula. Ini berkaitan dengan harga TBS petani swadaya. Permentan ini cuma melindungi harga TBS petani bermitra yang secara nasional, cuma 7 persen, sementara petani swadaya 93 persen.
Di Kalbar sendiri, dari sekitar 2 juta hektar kebun kelapa sawit, 26,70 persen atau sekitar 534.767 hektar dikelola oleh petani. Dari luasan itu, cuma 0,56 persen atau sekitar 3000 hektar kebun plasma (bermitra)
"Menengok angka yang kayak begitu, miris kita jadinya. Masak Permentan 01 tahun 2018 hanya mementingkan dan melindungi petani plasma yang cuma segitunya. Ini belum kita cerita soal produktivitas sawit rakyat yang hanya 2,6 ton CPO per hektar per tahun. Angka ini masih jauh dibawah ketimbang produktifitas perusahaan yang sudah mencapai 4,2-4,5 ton CPO per hektar per tahun," suara lelaki ini bergetar.
Sebagai provinsi yang kebun kelapa sawitnya nomor dua terluas di Indonesia setelah Riau (4,2 juta hektar), Kalbar kata Gulat harus bangkit dan berlari untuk memanfaatkan dana-dana yang sudah dianggarkan oleh BPDPKS dan Kementerian Pertanian.
Baca juga: Akirameruna Ala Apkasindo
"Saban tahun ada sekitar Rp50 triliun hingga Rp70 triliun duit Pungutan Ekspor (levy) CPO dan turunannya yang dikelola dan salurkan oleh BPDPKS. Levy itu dibebankan ke harga TBS Petani lho, jadi itu hak petani" lelaki 50 tahun ini mengingatkan.
Biar Kalbar bisa menggapai itu semua, tentu butuh SDM handal. Tanpa itu, teramat susah untuk memenuhi persyaratan demi memanfaatkan dana BPDPKS yang ada tadi.
"Kami sangat berharap petani sawit di Kalbar didukung oleh semua stakeholder menuju keberlanjutan. Dukungan itu tentu berasal dari Gubernur Kalbar, GAPKI Kalbar, Korporasi sawit yang tidak tergabung ke GAPKI, Bupati dan Walikota se Kalbar, juga Aparat Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan dan Kehakiman), serta TNI sebagai panutan petani sawit Indonesia," ujar Gulat.
Dan Sinyal Naik Kelas Itupun Nampak
Di balik persoalan pelik yang dihadapi petani itu, syukurlah keinginan petani untuk hilirisasi TBS sudah diakomodir penuh oleh BPDPKS, meski, petani masih harus lintang pukang mengurusi kelengkapan administrasi hingga rekomendasi teknis yang ranahnya ada di Ditjenbun Kementerian Pertanian.
Tahun ini kata Gulat, sudah dianggarkan Rp300 miliar untuk pembangunan tiga Pabrik Kelapa Sawit (PKS) petani. Salah satunya ada di Kalbar, di Kota Singkawang. Sisanya di Manokwari Papua Barat dan Banten.
Hanya saja sampai sekarang ajuan Apkasindo Singkawang masih belum menghasilkan proposal final lantaran harus memenuhi beberapa persyaratan seperti Feasibility Study (FS), kecukupan bahan baku TBS hingga dukungan dari Pemerintah Kota Singkawang.
"Dan biaya-biaya pembuatan dokumen persyaratan itu cukup besar lho, antara Rp1,2 miliar hingga Rp1,6 miliar. Yang paling banyak memakan biaya adalah membuat FS nya. Pendanaan awal inilah yang membuat lambat pengajuan proposal dari petani lantaran semua harus ditanggung koperasi pengusul," ujar Gulat.
Yang mencengangkan, Papua Barat justru menjadi yang pertama selesai semua persyaratannya. Dana yang cukup besar untuk proposal tadi mereka gotong-royongkan, ditambah donasi dari beberapa pejabat di sana yang bersimpati akan perjuangan petani sawit Papua Barat.
"Ini patut diapresiasi, mudah-mudahan bulan depan Ditjebun sudah mengeluarkan rekomteknya. Kalau enggak juga, keterlaluan namanya," Gulat mewanti-wanti.
Di sisi lain, Kementerian Koperasi sudah pula masuk ke sektor Pabrik Minyak Makan Merah (M3). Januari tahun depan tiga pabrik M3 sudah mulai operasional. Ini sebagai percontohan nasional yang akan diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi.
Sebab soal pabrik M3 ini memang arahan Presiden Jokowi jelas bahwa harus berbasis koperasi dan dibangun ditengah perkebunan sawit rakyat. Inilah yang sudah dimulai dari Sumatera Utara (Sumut), tiga pabrik M3 tadi.
Abdul Aziz