Jakarta, Gatra.com - Salah satu indeks pengukuran dalam Laporan Doing Good Index (DGI) 2022 adalah terkait dengan kebijakan yang mendukung berjalannya filantropi.
Peneliti CCPHI, Rahmatina Kasri menerangkan bahwa 42% organisasi sosial atau Service Delivery Organixation (SDO) di Indonesia menganggap bahwa undang-undang (UU) sektor sosial sulit dipahami.
"Ada temuan menarik. Sebagian besar negara tidak memiliki seperangkat kebijakan yang jelas dan konsisten untuk memungkinkan sektor sosial berkembang," kata Rahmatina dalam konferensi pers pembacaan hasil Laporan DGI yang digelar secara daring, Jumat (25/11).
Hasil laporan DGI menempatkan Indonesia di jajaran negara dengan peringkat “doing okay” dalam mendukung kegiatan filantropi, atau inisiatif sosial yang dilakukan warganya melalui SDO. Namun, Rahma mengatakan bahwa regulasi yang tidak koheren dan fluktuatif dapat menghambat potensi pemberian kebijakan insentif. Padahal, kebijakan ini dapat mendorong perkembangan sektor filantropi/nirlaba secara sistematis.
Ketua Badan Pengurus PIRAC (Public Interest Research and advocacy Center), Hamid Abidin mengatakan bahwa hal ini sejalan dengan temuan di lapangan. Ini berkaitan dengan inkonsistensi aturan dan praktik nyata di lapangan.
"Saya melihat salah satunya di Indonesia ada banyak regulasi nirlaba sudah usang, out of date. Misalnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) yang menjadi regulasi utama yang sekarang digunakan untuk filantropi dan penggalangan donasi," katanya.
Ia menyebut bahwa salah satu isinya terkait pengumpulan donasi yang harus melalui perizinan, sudah tidak relevan untuk saat ini. Penggalangan dana sudah berkembang pesat dan bertransformasi dari tradisional ke digital, sehingga regulasi harus disesuaikan dengan apa yang ada di lapangan.
Selain itu, situasi kebencanaan tidak tepat bila mengurus perizinan terlebih dahulu. Proses yang rumit dan memakan waktu membuat ini tidak bisa diterapkan dalam penanganan kasus kegawatan.
"Untuk mengurus izin cukup rumit, ada banyak dokumen yang harus disertakan dan izinnya berjenjang, paling cepat dua minggu, bisa berbulan-bulan. Bayangkan bila diterapkan di korban kebencaan," paparnya.
Hamid menyebutkan bahwa aturan turunan dari UU PUB sudah tidak mampu mengakomodir keperluan masa kini. Rancangan UU Penyelenggaraan Sumbangan sedang dirumuskan. Isinya berfokus mendorong mekanisme perizinan yang disederhanakan seperti menjadi pendaftaran.
"Mekanisme awalnya ketat di perizinan tapi longgar di pengawasan dan penindakan, itu yang diubah. Seharusnya kegiatan fundraising harus begitu," ucapnya.
Selain itu, terkait jangka waktu perizinan, selama ini waktu perizinan yang hanya dalam jangka pendek juga dianggap kurang efektif. Ia menyebutkan bahwa banyak program yang berusia jangka menengah dan jangka panjang sehingga diperlukan mekanisme perizinan yang bisa mengakomodir berbagai keperluan.
"Perizinan untuk tiga bulan, selesai, melaporkan, izin lagi. Gimana bisa mengembangkan program jangka panjang dengan hanya 3 bulan perizinanan? Di regulasi baru berharap dibedakan untuk program jangka panjang yang continue," ungkapnya.