Jepara, Gatra.com – Rekognisi terhadap ulama perempuan saat ini berlangsung dengan sungguh luar biasa. Hal itu disampaikan Ketua Majelis Musyawarah KUPI 2 Badriyah Fayumi saat pembukaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Kamis (24/11) malam.
Badriyah menerangkan, seringkali KUPI diundang sejumlah instansi negara untuk dimintai masukan dalam menentukan sejumlah kebijakan.
“Itulah rekognisi yang substantif dari stakeholder negara ini. Ketika ada RUU TPKS dibahas, kita tahu penolakan yang mengatasnamakan Islam sedemikian keras. KUPI lah satu-satunya dari suara yang telaten diajak dialog semua fraksi, pemerintah, dan kami semua selalu hadir. Dan apa yang kami sampaikan didengar,” ujarnya.
Dia menyebutkan, 30 tahun lalu belum muncul kata ulama perempuan, bahkan tak pernah pernah terbayang. Dia pun mencontohkan, saat seorang kiai di sebuah pesantren wafat, maka regenerasi kepemimpinan cenderung lebih kepada anak lelakinya. “Padahal ibu nyainya memiliki kualitas dan kapasitas,” ujarnya.
Di awal 90an, katanya, pesantren mulai mengenalkan ulama perempuan ini. Perguruan tinggi mulai memasukkan kesetaraan gender. Ormas keagamaan seperti Muslimat, Fatayat, Nasyiatul Aisyiyah mulai memasukkan masalah agenda reproduksi. “Saat ini, pesantren yang dipimpin kaum perempuan semakin banyak, termasuk di Jepara ini,” sebutnya.
Sebagai gerakan ulama, tegasnya, KUPI harus punya jati diri. Karena itu, KUPI mendefinisikan sebagai gerakan intelektual, karena ulama itu harus berilmu. Namun KUPI juga mendefinisikan sebaga gerakan kultural, karena ada pesantren, ibu nyai, maupun majelis taklim.
“Kami juga menyebut gerakan sosial, karena voluntarism dan gerakan sosial yang dilakukan.
KUPI 2, jelas Badriyah, akan mempertegas 4 visi yang terintegrasi satu sama lain. Masing-masing, keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. “Visi itu kita wujudkan dalam tema-tema musyawarah keagamaan. Semua tema ini ada tekanan tertentu pada satu titik, dan teritegrasi dengan visi. Harus ada dan nyata dalam rumusan setiap musyawarah keagamaan,” terangnya.
Salah satu pengasuh Ponpes Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara Hindun Anisah mengatakan, di Jepara para peserta bisa belajar hingga napak tilas 3 perjuangan perempuan. Masing-masing, Ratu Shima, Ratu Kalinyamat, dan RA Kartini.
Hindun menjelaskan, Ratu Shima terkenal sebagai ratu yang penegakan hukumnya luar biasa dan diakui pemimpin berbagai negara. Ratu Kalinyamat adalah sosok yang mampu memaksimalkan potensi maritim Jepara.
“Sehingga Jepara bisa maju. Banyak pengusaha perempuan di Jepara. UMKM yang ada mayoritas dimiliki perempuan,” terangnya.
Adapun RA Kartini memajukan pendidikan di Jepara. “Keberadaan 3 tokoh itulah yang membuat kenapa kami mengajukan diri sebagai tuan rumah. Peserta juga kita ajak napak tilas ketiga perempuan tersebut,” katanya.
Kongres juga akan merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia mengenai isu-isu aktual tertentu terkait hak-hak perempuan. Isu-isu antara lain tentang pengelolaan sampah bagi keberlanjutan lingkungan, kepemimpinan perempuan dalam melindungi bangsa dari ideologi intoleran dan penganjur kekerasan.
Adapula, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat perkosaan. Pemaksaan perkawinan terutama bagi perempuan dan anak-anak, hingga pemotongan dan pelukan genetalia perempuan.
“Ada halaqah umum dan halaqah khusus. Peserta global juga menjadi bagian. Sehingga bisa berkolaborasi dalam pandangan-pandangan yang muncul,” jelas Ketua OC KUPI 2, Masruchah.