Home Hukum Pengacara ACT Ajukan Eksepsi, Ini Poin-poin Keberatannya

Pengacara ACT Ajukan Eksepsi, Ini Poin-poin Keberatannya

Jakarta, Gatra.com - Kuasa Hukum Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar dan Direktur Keuangan Yayasan ACT Heriyana Hermain mengajukan nota keberatan atau eksepsi kepada majelis hakim sidang penggelapan dana ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610. Dalam eksepsi itu, kuasa hukum meminta agar surat dakwaan yang sebelumnya dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Selasa (15/11) lalu dapat ditolak dan dibatalkan.

"Tuntutannya intinya supaya surat dakwaan dibatalkan, dan kemudian Terdakwa bisa lepas dari tahanan. Tuntutannya itu," ujar anggota tim kuasa hukum Ibu Khajar dan Heriyana, Virza Roy, saat ditemui awak media dalam sidang pengajuan eksepsi kasus penggelapan dana The Boeing Company (Boeing) oleh ACT, di PN Jakarta Selatan, Selasa (22/11).

Virza menggarisbawahi adanya dua poin krusial dalam eksepsi yang pihaknya ajukan dalam persidangan hari ini. Salah satunya, ia menilai sosok pihak yang dikorbankan tidak dapat diuraikan secara jelas dalam surat dakwaan JPU.

Pasalnya, menurut Virza, kalaupun memang diuraikan bahwa ada aliran dana dari Boeing untuk implementasi program pengelolaan dana sosial BCIF untuk fasilitas pembangunan sosial, surat dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana tertera pada Pasal 372 KUHP yang mengharuskan adanya korban.

"Nah, di sini Ibu Haryani maupun Pak Ibnu kan bukan secara pribadi untuk melakukan kontrak dengan BCIF. Ini siapa yang menjadi korban, itu kan enggak jelas," ujar Virza, dalam kesempatan tersebut.

Terlebih, ia menyoroti bagaimana kontrak tersebut pada dasarnya dilakukan antar badan hukum, yakni Yayasan ACT dengan Boeing. Ia pun mempertanyakan alasan mengapa surat dakwaan tersebut lebih menyasar pada pribadi kliennya.

Di samping itu, Virza juga menyoroti bagaimana awal mula perkara penggelapan dana tersebut naik ke permukaan, yang mana ditengarai oleh sebuah berita di suatu media massa yang kemudian menjadi viral di kalangan masyarakat.

"Pada saat itu, dengan ada berita itu, kan yang berinisiatif, yang sangat aktif, adalah kepolisian sendiri untuk melakukan laporan. Pertanyaannya adalah, apakah selama proses sebelum perkara ini naik, BCIF pernah melakukan somasi atau keberatan? Faktanya tidak pernah," ujarnya.

Virza menyatakan, baik pihak Boeing maupun ahli waris kecelakaan pesawat itu tidak pernah menempuh upaya-upaya hukum untuk menyatakan keberatan mereka atas langkah yang diambil pihak ACT atas dana tersebut.

"Artinya, siapa yang menjadi korban dalam perkara ini? Itu yang menjadi pertanyaan. Surat dakwaan itu cacat menurut kami, mengenai korban tidak jelas," ucap Virza.

Tidak hanya itu, ia juga menyebut surat dakwaan itu amatlah prematur. Pasalnya, dalam surat dakwaan tersebut dijelaskan adanya klausul antara Boeing dengan ACT, yang menyebutkan bahwa kedua pihak masih dapat melakukan perbaikan, apabila ada persoalan terkait penyimpangan penggunaan dari peruntukan dana Boeing. Begitu pula dana tersebut masih dapat dikembalikan, apabila terjadi masalah dana.

"Klausul ini belum pernah ada ditempuh. Jadi, seharusnya klausul tentang adanya masalah penggunaan-penggunaan dana BCIF harusnya diselesaikan dulu dengan pihak Boeing, gitu, karena ada klausul itu. Bukan langsung ada laporan-laporan pidana," ujar Virza Roy, dalam kesempatan itu.

Di samping itu, anggota tim kuasa hukum Heryani Hermakn dan Ibnu Khajar juga mendapati sejumlah ketidakcermatan yang tertera dalam surat dakwaan JPU. Salah satu di antaranya adalah terkait identitas, yakni pekerjaan Terdakwa.

Tak hanya itu, pihak kuasa hukum juga menggarisbawahi adanya ketidakcermatan surat dakwaan dalam menguraikan peran Terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Menurutnya, apa yang diuraikan JPU tidak jelas dan tidak sesuai dengan pasal yang dituduhkan, yakni Pasal 374 subsidair Pasal 372 KUHP juncto Pasal 55 ayat ke-1 KUHP.

"Yang mana, perannya itu ada, pelaku (yang) turut serta, dan orang yang memerintah. Nah, tapi di dalam dakwaan kan tidak diuraikan secara jelas. Nah, itu keberatan kami dalam eksepsi," jelas anggota tim kuasa hukum, Widad Thalib, saat ditemui pada kesempatan yang sama.

Tidak hanya itu, Widad juga mencatat adanya ketidakcermatan terkait implementasi dana Boeing, di mana sebenarnya, ada beberapa bank yang tidak masuk dalam lingkaran penyaluran dana Boeing, namun diuraikan dalam dakwaan sebagai salah satu penerima dana tersebut, yakni Bank Muamalat.

"Setelah kami cek, dalam perhitungan akuntan independen dari Bareskrim Polri, kemudian juga sesuaikan dengan data-data yang kami miliki, Bank Muamalat itu tidak termasuk bank yang menerima aliran dana Boeing," ujarnya.

Widad kemudian menekankan adanya ketidakcermatan dalam hal penghitungan total penggunaan dana Boeing yang dituliskan dalam surat dakwaan JPU. Pasalnya, angka yang tertera dalam surat dakwaan itu tidak sesuai sebagaimana diitung ulang oleh pihak penasihat hukum.

"Angka di dalam dakwaan misalkan disebutkan Rp117 miliar sekian. Namun, ketika kami itung ulang, angkanya itu tidak sesuai dengan apa yang diitung oleh Penuntut Umum. Angkanya berbeda setelah kami itung ulang," kata Widad.

"Ada juga yang disampaikan, bahwa penggunaan dana Boeing dari angka Rp138 miliar sekian (menjadi) hanya Rp20 miliar, dengan dirincikan oleh Penuntut Umum, tapi ternyata setelah kami itung ulang, angka juga tidak sesuai dengan jumlah yang disampaikan oleh Penuntut Umum. Angkanya itu berbeda. Angkanya itu, setelah kami itung ulang, dari dakwaan Rp20 miliar, kami itung ulang angkanya (jadi) Rp21 miliar," lanjutnya.

Tak hanya itu, pihaknya juga menyoroti munculnya nama bank secara tiba-tiba dalam surat dakwaan JPU, tanpa menjelaskan secara rinci alur munculnya bank tersebut dalam perkara ini. Hal itu, kata Widad, termasuk dalam salah satu poin yang mereka masukkan pada nota keberatan mereka.

Untuk diketahui, kedua terdakwa itu didakwa telah menggelapkan dana donasi Boeing untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610, yang jatuh pada 29 Oktober 2018 dan mengakibatkan tewasnya 189 kru dan penumpang.

Pihak ACT saat itu telah ditunjuk oleh The Boeing Company untuk menjadi lembaga yang akan mengelola dana sosial (BCIF) dari perusahaan tersebut. Pihak keluarga korban pun diminta untuk menyetujui agar pengelolaan dana sosial dari BCIF sebesar USD144.500 itu dapat dilakukan oleh ACT.

Menurut pihak ACT, dana itu akan digunakan untuk membangun fasilitas sosial bagi penerima manfaat, sebagaimana direkomendasikan dari ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610. Namun demikian, Ahyudin beserta Ibnu Khajar dan Hariyana telah menggunakan sebesar Rp117.982.530.997 dari keseluruhan dana BCIF senilai USD144.500 atau setara Rp2 triliun, di luar dari peruntukannya.

Oleh karena perbuatannya itu, ketiga terdakwa tersenut didakwa Pasal 374 subsidair 372 KUHP juncto Pasal 55 ayat ke 1 KUHP soal Tindak Pidana Penggelapan dan/atau Penggelapan Dalam Jabatan dan/atau Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Tindak Pidana Yayasan.

804