Oleh: Suradi Al Karim*)
Waktu tunggu pemilu, pilpres, dan pilkada serentak tahun 2024 sudah dimanfaatkan Bawaslu dengan meluncurkan satu aplikasi pelaporan pelanggaran pemilu dengan platform Sigaplapor. Ini menjadi sangat penting karena pada tahun 2024 secara serentak Indonesaia melaksanakan pemilihan anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan kepala daerah pada 38 provinsi serta kurang lebih 514 kabupaten/kota. Ini pemilihan paling masif dan rumit sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia.
Berkelindan dengan Sigaplapor, penting bagi Bawaslu untuk melakukan harmonisasi perubahan atas Perbawaslu Nomor 4 Tahun 2018 Pasal 1 ayat (5), UU Nomor 16 tahun 2017, dan UU Nomor 17 tahun 2013 yang menyatakan bahwa pemantau pemilu adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum dan non-berbadan hukum. Harmonisasi ini menjadi penting berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum yang dikaitkan dengan Penetapan PP Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU Pemilihan Kepala Daerah. Harmonisasi perlu dilakukan untuk memastikan Sigaplapor dan pengawsan partisipatif dapat dilaksanakan secara efektif untuk mendukung pemilihan yang berkualitas dari segi penegakan hukum dan pembangunan demokrasi.
Bawaslu memang memiliki keterbatasan kewenangan, yakni hanya mengawasi tahapan, menerima, dan meneruskan laporan. Bawaslu tidak dapat menjatuhkan sanksi, karena itu harus ada pemahaman dalam melakukan kerja-kerja pengawasan secara operasional sebagai “politik pengawasan.” Politik pengawasan memiliki tujuan, misi serta orientasi yang digunakan dalam melakukan pengawasan pemilu, sehingga kegiatan pemilu lebih memiliki karakter, tidak sekadar kerja prosedural konvensional dalam menelisik dugaan pelanggaran semata.
Politik pengawasan harus memastikan misi pencapaian perundang-undangan pemilu: pemilu yang demokratis dan berkeadilan. Karena itu, Bawaslu tidak sekadar “mesin pengawasan yang mekanistis” tetapi harus menjadi institusi yang mewujudkan keadilan dalam pemilu. Karena itu pula, politik pengawasan harus memandang pelanggaran tidak hanya sebagai fakta atau realitas tunggal tetapi juga sebagai tindakan yang berkaitan aspek lain yang berkorelasi dengan pelanggaran.
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara Sigaplapor dan pengawasan partisipatif. Dua-duanya setara dan sebangun, substansinya juga sama, berasal dari laporan masyarakat. Masyarakat dapat melaporkan secara langsung kepada Panwascam jika ada pelangaran pemilu. Makin banyak laporan masyarakat berarti makin baik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan partisipatif. Ini berarti sosialisasi yang dilakukan Bawaslu dapat dikatakan sukses. Sebaliknya, makin sedikit laporan dari masyarakat yang diterima, maka dapat dikatakan Bawaslu gagal mendorong pengawasan partsipatif.
Walaupun laporan masyarakat bukan satu-satunya indikator suksesnya pengawasan partisipatif, Bawaslu satu-satunya pintu masuk laporan. Karena itu, Bawaslu harus punya strategi jitu dalam mendorong masyarakat menyampaikan laporan jika terjadi pelanggaran atau kecurangan. Dalam konteks pengawasan partisipatif, Bawaslu harus melakukan berbagai agenda kegiatan untuk mendorong masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan partisipatif.
Ini penting karena masayarakat sangat mengharapkan Bawaslu menjadi garda depan penyelenggara pemilu yang berintegritas dan demokratis. Sebab itu, wajar bila masyarakat mengatakan bahwa sukses atau tidaknya pemilu, jujur dan adilnya pemilu tergantung pada Bawaslu. Ekspektasi masyarakat harus dijawab oleh Bawaslu melalui harmonisasi peraturan dan modernisasi pelembagaan sistem politik dengan memperkuat sistem Sigaplapor dan pengawasan partisipatif.
Harus diakui bahwa pelanggaran dan keucarangan pemilu dari periode ke periode karena kepengawasan Bawaslu sangat lemah. Karena itu, perlu penguatan atas mekanisme pelaksanaan Sigaplapor melalui perbaikan sistem pemantauan dan supervisi, penyederhanaan mekanisme penangan pelanggaran, penguatan kapasitas sumber daya pengawas pemilu, dan perkuat hubungan antara gerakan civil society dan gerakan pemantau pemilu.
Penguatan regulasi Bawaslu haruslah memungkinkan tumbuhnya pengawasan partisipatif karena esensi pengawasan partisipatif adalah keterlibatan masyarakat sipil. Di sinilah letak kebermaknaan jargon yang diusung Bawaslu, “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Hukum Pemilu.” Sampai pada titik inti, kata kunci penting dalam pemanfataan Sigaplapor sebagai sebuah platform pelaporan pelanggaran pemilu adalah penguatan relasi kemitraan antara Bawaslu dengan masyarakat kewargaan dalam menciptakan pemilu yang demokratis.
Ringkasnya, Bawaslu harus memanfaatkan waktu tunggu ini dengan mengharmonisasikan peraturan yang terkait dengan pemilu. Makin cepat harmonisasi dilakukan makin efektif pelaksanaan Sigaplapor dan pengawasan partisipatif sebagai satu instrumen “politik pengawasan” yang mendukung terlaksananya pemilu yang demokratis.
*Penulis adalah Advokat Peradi, Penasihat MD KAHMI Kabupaten Banyumas, dan Fungsionaris BPPH MPC PP Kabupaten Banyumas