Jakarta,Gatra.com-KTT Iklim PBB COP27 di Sharm El-Sheikh yang ditutup pada Minggu, 20 November 2022 lalu memang menghasilkan kesepakatan soal skema bantuan pendanaan bagi Negara miskin yang terdampak bencana iklim. Sayang, tidak membuat kemajuan tambahan soal upaya membatasi emisi global.
Sepanjang konferensi berjalan, memang pembahasan soal dana kerugian dan kerusakan (loss and damage) menjadi isu yang paling diperdebatkan. Upaya keras organisasi antar-pemerintah Negara berkembang yang terdiri dari 134 anggota agar dana loss and damage disepakati rasanya cukup berpengaruh dalam gelaran COP27 kali ini.
Pada akhirnya, Negara-negara memutuskan untuk menetapkan pengaturan pendanaan baru untuk Negara berkembang yang tergolong sangat rentan terdampak efek perubahan iklim. termasuk juga soal pendanaan dan mobilisasi sumber energi baru dan terbarukan. Meskipun diakui prosesnya tidak akan mudah, karena butuh waktu beberapa tahun untuk cair.
Baca juga: COP27 Solution Day: Koalisi Global Dorong Akselerasi menuju Kendaraan Nol Emisi
Kesepakatan hanya menyinggung soal peta jalan untuk tahapan-tahapan pendanaan. Siapa yang mengawasi dana, hingga dana tersebut didistribusikan kepada Negara penerima.
Meski tidak ada kesepakatan terkait komitmen yang lebih kuat guna menahan laju peningkatan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, Sekretaris Iklim Jerman Jennifer Morgan seperti dlansir dari Reuters menyebut pihaknya ikut dalam kesepakatan karena ingin berdiri dengan pihak yang paling rentan (Negara-negara miskin).
Sebelumnya diketahui Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak gagasan soal kompensasi pendanaan. Mereka khawatir menjadi satu-satunya pihak yang dituding bertanggungjawab atas emisi yang dihasilkan dimasa lalu.
Sulitnya Mengurangi Dominasi Energi Fosil
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak melihat akhir konferensi COP27 di Mesir memang membuat terobosan terkait loss and damage. Menjadi sebuah awal baik menunju keadilan iklim, meski meninggalkan sejumlah catatan.
Isu soal loss and damage yang disepakati dalam COP27 sebenarnya menurut Leonard masih menggmbarkan enggannya Negara-negara penghasil emisi besar itu membayar biaya kerusakan iklim akibat emisi yang mereka hasilkan selama ini.
“Kita masih memiliki pekerjaan rumah, memastikan Negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggungjawab atas krisis iklim memberi kontribusi terbesar untuk pendanaan loss and damage,” katanya seperti dikutip dari rilis, Senin (21/11).
Baca juga: Greenpeace Sebut G20 Harus Percepat Transisi Energi dan Aksi Iklim yang Ambisius
Negara maju, lanjutnya, harus dipastikan menepati janjinya. Hal ini mengingat tidak terpenuhinya soal alokasi dana sebesar US$100 miliar per tahun. Dana itu sempat dijanjikan cair untuk membantu Negara-negara berkembang bertransisi ke energi bersih, sekaligus meningkatkan ketahanan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim.
Greenpeace menurutnya juga menyesalkan tidak disepakatinya tindakan mitigasi yang lebih ambisius jika mengacu pada kesepakatan Glasgow tahun lalu. Tidak ada komitmen mengakhiri penggunaan semua bentuk energi fosil (batu bara, minyak, dan gas bumi), serta seluruh penerapan subsidi energi fosil. Memang, ada sejumlah Negara yang aktif menyuarakan desakan itu, namun terhadang Presidensi COP27 Mesir.
“Kompromos jelas dipengaruhi lobi raksasa-raksana energi fosil akan membawa bumi dan penghuninya menuju rangkaian bencana iklim permanen.” tambahnya. COP27 berakhir menjadi ajang mengulang kesepakatan untuk phasing down penggunaan batu bara. Sebuah poin yang sebenarnya sudah disepakati dalam COP26 Glasgow.
Hal lain yang disesalkannya, yakni tidak tercapainya kesepakatan dan target waktu yang jelas soal dana global untuk membantu Negara-negara miskin dan berkembang melakukan adaptasi. COP27, lanjutnya, hanya mengakui diperlukan setidaknya US$5,6 triliun guna membantu Negara berkembang atasi krisis iklim sampai 2030.