Jakarta, Gatra.com– Kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus menuai kontroversi di kalangan akademisi. Draft awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya, yakni kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat.
Narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai tidak memenuhi urgensi. Hal ini disampaikan dua pakar lintas keilmuan yakni pakar nutrisi dan polimer pada diskusi bersama media dengan tajuk Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi pada Kamis (17/11).
Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan, Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS menilai bahwa sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. "BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan," ujarnya dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat (18/11).
Dari berbagai penelitian, lanjut dia, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum. "Jadi bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelas Prof Sulaeman.
Sejumlah fakta yang ada di antaranya kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun. Sementara menurut data UNICEF hampir 70% sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses.
Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan, "jelas Prof. Sulaeman.
Cirinya, secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya.
"Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof. Sulaeman.
Kendati begitu, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi, risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA. Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, mengkritik narasi yang dibangun tersebut. Ia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.
“Jadi kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya. Terkait bahaya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif," katanya menegaskan.
Menurut dia, harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi dan lama kontak. "Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal.
Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah. “Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” terang Zainal.
Kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia. Sampai hari ini, belum pernah mendengar ada orang yang meninggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat.
“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” terang Zainal.