Jakarta, Gatra.com - Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) memiliki komitmen selama 5 tahun ke depan akan menginvestasikan USD 600 miliar dalam bentuk pinjaman dan hibah untuk proyek infrastruktur berkelanjutan bagi negara berkembang.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengungkapkan Indonesia bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk mendorong dan mempercepat transisi energi.
"Kalau ini yang dimaksudkan untuk membangun infrastruktur berkelanjutan saya harapkan juga ini berkaitan dengan infrastruktur-infrastruktur yang arahnya adalah mendorong transformasi ke yang lebih hijau, dari sisi energi misalnya," kata Mohammad Faisal di Jakarta, Rabu malam (15/11/2022).
Faisal beralasan sektor energi hijau atau berkelanjutan membutuhkan biaya yang sangat besar. Di sisi lain, Indonesia punya beragam sumber daya untuk energi hijau yang belum tergarap sebab masalah pendanaan.
"Kalau kita bicara infrastruktur energi terutama yang lebih hijau, problemnya memang selama ini dari pembiayaan atau kebutuhan investasinya besar. Jadi memang dibutuhkan tambahan investasi yang besar untuk Indonesia yang punya potensi energi hijau luas," tambahnya.
Kendati energi hijau membutuhkan dana besar sebagai investasi awal, pasar dan konsumen energi tersebut juga cukup besar. Ketika infrastruktur energi berkelanjutan sudah terbentuk, maka ongkos operasional akan jadi lebih murah.
"Pasarnya juga besar. Tapi butuh dana awal yang tinggi. Karena sebetulnya kalau sudah ada infrastrukturnya, ongkos operasional lebih murah untuk pengunaan energi yang lebih hijau, misal solar panel, dibanding dengan yang konvensional, yang fossil fuel," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Faisal mendorong agar pemerintah bisa mengikat komitmen tersebut. "Jadi arahnya seperti itu. Diharapkan bisa menjembatani kebutuhan tersebut. Jadi ini kalau memang ada komitmen ya memang perlu diikat, karena kita memang dari sisi kebutuhan investasi infrastruktur yang berkelanjutan itu memang besar," pungkasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Segara Institute, Pieter Abdullah. Menurutnya, komitmen pendanaan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) senilai 600 miliar dollar, diharapkan bisa mempercepat proses transisi energi di Indonesia.
Proyek energi terbarukan (EBT) yang terbengkalai maupun yang tengah berjalan, mendapatkan pendanaan yang cukup. “Dengan adanya dana bantuan itu bisa mengejar, melakukan percepatan, shifting dari sumber energi dengan emisi karbon tinggi dengan sumber energi yang emisi karbonnya rendah. Kita bisa kejar target Net Zero Emission (NZE),“ ungkap Pieter.
Dia mengatakan, sumber daya alam indonesia begitu melimpah, dan bisa menjadi sumber EBT. Salah satu yang pernah dikaji adalah Energi laut.
Dalam tulisan yang dibuat oleh Kementerian ESDM, Energi laut yang dihasilkan dari gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut (samudera) merupakan sumber energi di perairan laut yang berupa energi pasang surut, energi gelombang, energi arus laut, dan energi perbedaan suhu lapisan laut.
“Kita tidak hanya garis pantai yang panjang, tetapi arus laut, kondisi yang unik di dunia tidak banyak memiliki potensi itu, indonesia salah satu yang memilikinya,” jelas Pieter.
Pernah ada kajian tentang potensi arus laut sebagai energi pembangkit listrik di selat Larantuka, Flores Timur, NTT. “Dengan ada banyak bantuan pendanaan, maka proyek yang belum diselesaikan, dipercepat, dan mempercepat transfer energi,” kata Piter.
Komitmen pendanaan PGII ini diteken pada gelaran KTT G20. Ini menjadi catatan lanjutan keberhasilan presidensi Indonesia. “Terlepas dari isi komunike, dunia mengakui kepemimpinan Indonesia sudah berhasil dan menghasilkan sesuatu yang nyata, terutama bagi negara berkembang,” jelas Piter.
Piter sendiri mengapresiasi kerja keras pemerintah dalam menyukseskan gelaran G20. “Indonesia sejak awal ingin menciptakan sesuatu yang nyata dari forum G20 itu dilaksanakan secara serius, dengan mimpi dalam G20 ada banyak sekali forum, dan diarahkan pada bentuk bentuk yang nyata,” ungkap Piter.
Dengan kesungguhan pemerintah Indonesia menjalankan presidensinya, adalah tugas berat bagi India, presidensi G20 berikutnya, untuk membuat gelaran yang sepadan.