Bali, Gatra.com- Senior Adviser to Director Jenderal World Health Organization (WHO), Bruce Aylward menyampaikan apresiasi atas inisiatif Indonesia selaku
Presidensi G20 mengangkat tema infrastruktur kesehatan global sebagai salah satu agenda G20 tahun ini. Menurutnya, infrastruktur kesehatan global masih menjadi pekerjaan rumah terbesar negara-negara di dunia.
Hal ini terbukti ketika dunia menghadapi pandemi Covid-19 yang tidak hanya menguncang sektor kesehatan, namun juga berdampak pada sektor ekonomi
sehingga terjadi pelambatan dan bahkan aktivitas ekonomi terhenti. Bruce menegaskan, selama sistem kesehatan global tidak diperbaiki, dunia tetap akan
rentan terhadap bencana yang mungkin terjadi di masa mendatang.
"Maka dari itu, kita harus memperhatikan kesehatan masyarakat dunia. Kita membutuhkan penguatan dan stabilitas infrastruktur kesehatan global. Dan
sungguh luar biasa Presidensi G20 Indonesia telah melihat dan mengangkat masalah ini sebagai isu prioritas. Kita tidak dapat menyelesaikan isu ini tanpa
peran G20," kata Bruce dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (14/11). Baca Juga: Kemenkes Prioritaskan 3 Isu pada KTT G20 di Bali 2022
Kabar baiknya, Bruce mengakui, G20 merupakan kumpulan negara-negara yang memegang 60 persen populasi dunia dan 80 persen negera-negara G20 merupakan raksasa ekonomi dunia. Ia juga menyebut, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dunia adalah adanya kesenjangan pada "Primary Health Care" atau Layanan Kesehatan Dasar yang mencakup hampir seluruh dunia, bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi.
Adapun layanan kesehatan dasar adalah hal yang penting dan menjadi kebutuhan bagi semua orang. "Lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan dasar. Apa yang terjadi ketika pandemi seperti covid-19 menghantam, sistem kesehatan di seluruh dunia mengalami kerusakan. Karena kita berada dalam dunia yang saling terhubung, kita semua menderita," jelasnya.
Maka dari itu, kata Bruce menegaskan, masalah sistem kesehatan global perlu kerja sama dan kolaborasi seluruh dunia. "Kita tidak dapat menyelesaikan masalah ini tanpa kerjasama dan kolaborasi seluruh dunia," tukasnya. Baca Juga: Di Presidensi G20, Indonesia Harus Jadi Panutan Pengembangan Green Pharmacy
Masalah Akses dan Ketersedian Pangan
Pada kesempatan yang sama, Chief Economics Food and Agriculture Organization (FAO) Maximo Torero mengatakan tahun ini dunia sedang manghadapi tantangan terbesar yakni akses pangan. Masalah ini muncul karena harga pangan yang kian mahal dan imbas dari konflik Rusia-Ukraina.
"Dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar yang sangat luar biasa. Tahun ini kita mengalami masalah yang disebut "akses pangan" dan penyebabnya terjadinya kondisi ini adalah harga pangan yang kian mahal," ujar Maximo.
Maximo menyebutkan, kenaikan harga pangan tertinggi sepanjang sejarah terjadi pada bulan Maret tahun ini. Kendati sempat turun namun tetap tidak signifikan sehingga harga pangan tetap dinilai tinggi.
Masalah akses pangan ini, menurut Maximo, menutup pintu bagi masyarakat pada sumber-sumber pangan. Artinya, banyak masyarakat dunia tidak bisa membeli makanan. Hal itu yang membuat pihaknya menyebut ini sebagai masalah akses pangan. "Artinya, masyarakat tidak punya banyak sumber pangan dan tidak akan bisa membeli makanan. Oleh karena itu, kita sebut ini sebagai masalah akses
pangan," tukasnya.
Maximo menambahkan, masalah akses pangan ini terjadi selain karena pembatasan selama pandemi covid-19 untuk menekan laju penyebaran virus, juga karena perang Rusia-Ukraina. "Kondisi ini terjadi setelah pandemi covid-19 dimana harga pangan tinggi dan makin meroket karena perang di Ukraina," katanya.
Baca Juga: Tri Hita Karana Road to G20 Sepakati Dukungan Pusat Kesehatan Bertaraf Internasional di Bali
Alasan utamanya adalah karena Federasi Rusia dan Ukraina merupakan eksportir dari 30 persen biji gandum untuk dunia. Sementara Federasi Rusia merupakan eksportir utama pupuk dunia. "Jadi tahun ini masalah akses pangan. Tahun depan akan menjadi tantangan
terbesar adalah ketersediaan pangan," pungkasnya.