Oleh: Eric Hermawan*)
Tidak ada tanda-tanda serius siapa lagi bakal calon presiden 2024 yang akan segera mendeklarasikan diri. Rupanya kekawatiran itu dikarenakan hitung-hitungan nama calon wakil presiden menjadi penentunya. Bisa saja, partai yang telah cukup syarat dalam presidential threshold (20%) mengumumkan capresnya, hanya saja mereka sepenuhnya tidak yakin dengan resiko bahwa tokoh-tokoh yang ada tidak dapat menjadi gerbong yang menarik suara pada partai.
Secara faktual banyak bukti sahih yang bisa dijadikan parameter melihat agresivitas pergerakan partai politik untuk menggalang nama. Mereka mulai pasang kuda-kuda persiapan menyongsong pesta demokrasi lima tahunan ini. Tinggal menyesuaikan dengan rule mode koalisi presiden politik Tanah Air, yakni koalisi terbentuk di tikungan akhir jelang pemilu atau koalisi yang dideklarasikan jauh sebelum pemilu dilaksanakan.
Suka tidak suka partai besar seperti PDIP, satu-satunya partai politik yang punya tiket emas pilpres, juga mulai berkomunikasi dengan partai politik lainnya. Itu artinya, koalisi ialah keniscayaan. Wajib hukumnya bahkan bagi yang merasa kuat sekalipun. Persis dengan pemilu tahun sebelumnya, keberadaan cawapres adalah kunci agar mereka dapat mengukur peta kekuatan diri dan lawan. Ingat, bahwa arena atau lapangan untuk kompetisi pilpres tergantung pada pengaturan soal siapa yang berhak dinyatakan menang dan siapa kandidat yang boleh berkompetisi. Arena terkait dengan berapa lama waktu kompetisi dan pola pertarungan.
Peta pemilu 2024 akan dibangun total kembali. Tiadanya calon unggul membuat koalisi yang sudah ada saat ini terbilang rapuh. Di tahun 2009, 2014, dan 2019, dominasi elektabilitas bakal calon presiden dari petahana yang populer, sehingga mudah membaca peta koalisi. Kecermatan parpol mengawinkan kendaraan politiknya dan mendapuk tokoh penting sebagai satu pasangan capres dan cawapres 2024 penuh kehati-hatian. Padahal mereka bisa memulai dengan nama yang sudah ada. Lagi pula kesiapan mereka-mereka sebagai cawapres teramat jelas ada, namun partai penuh pertimbangan.
Politik ialah seni kemungkinan. Demikian diktum politik yang sering didengar khalayak. Maknanya begitu mendalam. Teori dramaturgi Erving Goffman tentang panggung depan (front stage), dan panggung belakang (back stage) sangat relevan memotret pergerakan politik dewasa ini. Jika elit parpol tidak dapat menentukan di balik layar seperti komunikasi politik dan kecocokan visi partai. Sebenarnya di depan layar seperti tingginya minat sosok cawapres dari sisi penegak hukum, professional, punya wawasan kebangsaan, dan pemersatu golongan. Kriteria semacam ini harusnya diteguhkan, semakin parpol berat hati dengan cara pandang internal maka peluang kehilangan sosok kredibel akan luruh.
Sosok Profesional
Aspirasi publik biasanya adalah prediktor kuat untuk memperkirakan siapa saja calon yang akan berkompetisi. System demokrasi kita tidak seperti di Amerika Serikat, Brazil, atau Korea Selatan memperbolehkan adanya calon independent atau non partai. biasanya mereka berasal dari public figur yang kuat. Jika mode ini ada di Indonesia cukup menyulitkan di saat semua keputusan pencalonan presiden berada di tangan parpol.
Sudah ada nama-nama kemungkinan bakal calon presiden yang menjadi poros sorot peluang mereka dapat melaju sebagai capres. Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Puan Maharani, dan Ganjar Pranowo. Figur mereka mencerminkan sisi nasionalis, religius, dan militer. Sebagian didorong oleh kendaraan parpol mereka sendiri. Capres dan cawapres idealnya merupakan kombinasi dari sosok politisi dan professional.
Rilis riset Jayabaya Engine-X membuat skema pasangan potensial capres dan saran nama ideal publik sebagai cawapresnya didasarkan trend perbincangan paslon capres-cawapres 2024 pada media sosial. Jangka Jayabaya pada November 2022 menyebut hasil, Anies Baswedan (AHY 19,73%, Sandiaga 19,98%, Andika Perkasa 13,25%, Erick Thohir10,74%, Khofifah Indar Parawansa 11,32%, Mahfud MD 12,27%, dan Ridwan Kamil 12,81).
Ganjar Pranowo (Mahfud MD 27,5%, Andika Perkasa 21,67%, Khofifah Indar Parawansa 14,26%, Erick Thohir 17, 53%, dan Ridwan Kamil 19,48%). Puan Maharani (Erick Thohir 32,77%, Andika Perkasa 23,97%, Mahfud MD 20,96%, dan Ridwan Kamil 22,29%). Prabowo Subianto (Muhaimin Iskandar 19,99, Ridwan Kamil 19,98%, Erick Thohir18,8%, Sandiaga Uno 16,44%, Mahfud MD 12,71%, dan Khofifah Indar Parawansa 13,07%).
Dari survei di atas semua nama memiliki peluang yang sama, tetapi jika memakai kriteria profesionalisme dan nasionalis religius hanya figure Mahfud MD yang selayaknya dipertimbangkan untuk masuk ke semua lini. Prabowo Subianto, Puan Maharani, atau Ganjar semua berasal dari rumpun politik praktis. Jika pasangan berasal dari lingkungan yang sama cukup sulit mempengaruhi kantong suara. Mereka butuh sosok bervisi nasionalis religius yang digtumnya selalu mewarnai rekonsiliasi persoalan krusial nasional. Mahfud MD sudah memiliki legasi ini, dirinya selalu mampu berdialog dengan semua elemen masyarakat, posisi dan pernyataanya jarang sekali dibantah dibantah atau ditolak oleh pihak oposisi peremerintah sekalipun.
Berdasarkan survei di atas pula, nama Mahfud MD terus bekutat dalam nama ideal serta potensial. Bahkan bagi sosok Ganjar Pranowo, publik menyatakan Mahfud MD bisa menjadi kandidat ideal baginya. Publik nampaknya menaruh simpati pada sosok yang memang tidak begitu berhasrat mencalonkan diri. Sosok yang ditemukan dan dinyatakan jauh seperti itu lebih diminati. Sejauh ini hanya Mahfud MD yang tidak sama sekali kelihatan minat politiknya pada pilres 2024, namun publik terlanjut sangat berharap dirinya menyetujui pesan harapan itu. Keterampilan dan penataan hukum yang tidak melukai masyarakat, serta kemampuan membaca geopolitik global di Kawasan Asean nampaknya cukup kompleks perannya. Tetapi kembali lagi pada pokok persoalan, maukah para capres itu menunjuknya.