Jakarta, Gatra.com - Aktivis Kalis Mardiasih menilai bahwa reformasi di tubuh kepolisian baru dapat dilakukan jika perspektif kelompok rentan digunakan. Hal ini harus terlihat dalam proporsi keterwakilan kelompok rentan dalam kepolisian, termasuk dalam penganggaran belanja.
"Reformasi Polri tidak akan terjadi, selama Polri tidak melihat dari perspektif kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan disabilitas. Jumlah polisi wanita (Plwan) hanya 5% dari total, bahkan kurang dan trennya berkurang tiap tahun," katanya pada diskusi bertajuk Mengenang Pahlawan Kanjuruhan: Mengakhiri Brutalitas, Revolusi Polisi yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara daring, Kamis (10/11) malam.
Kalis menerangkan bahwa dalam sejarah Polwan, pembentukannya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan penanganan kasus yang melibatkan korban perempuan dan anak. Pahwa pandangan keberadaan Polwan untuk "bantu-bantu" masih terbawa hingga saat ini, yang terwujud dalam Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Baca Juga: Hari Polwan, Kilas Balik dan Sejarah Polisi Wanita Hadir di Institusi Polri
Padahal, sejak lima tahun lalu saat proses mengawal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), banyak yang menyerukan agar PPA di bawa ke level direktorat atau Bareskrim, bukan hanya unit. Hal ini diperlukan agar perspektif korban bisa dilihat sebagai sudut pandang dalam penanganan kasus.
"Kalau unit saja, kewenangan sangat terbatas. Kalau tidak di level direktorat, selamanya tidak akan mengubah perspektif kelompok rentan. Tidak akan ada kebijakan baru yang mewakili kelompok rentan," tuturnya.
Kalis menilai bahwa pandangan umum atau imajinasi kolektif polisi terhadap Polwan masih melihat bahwa Polwan hanya untuk memoles wajah kepolisian. Pencitraan di media memunculkan Polwan sebagai wajah yang menunjukkan bahwa polisi itu ramah.
Baca Juga: Pertemuan Polwan Sedunia, Ini Satu-Satunya Polwan Wakil Polda NTB
"Yang kita lihat itu pandangan misoginis. Di lapangan pun sama, Polwan jadi front office, mengurus hubungan masyarakat. Mereka dianggap tidak sama atau tidak bisa melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan laki-laki," paparnya.
Kalis menerangkan bahwa sepanjang sejarah, jabatan Jenderal di kepolisian hanya pernah diraih oleh tiga sosok wanita. Sementara saat ini, jabatan Kapolda hanya dipegang oleh satu Polwan. Ini menunjukkan ketimpangan yang harus dibenahi.
Kalis mendorong bahwa penambahan jumlah atau komposisi perempuan di kepolisian untuk segera dilakukan.
"Karena memang jumlah perempuan tidak ada, jadi mau bikin perubahan seperti apa?" ucapnya.
Baca Juga: Reformasi Polri Diperlukan, Aktivis: Kalau Perlu, Langsung Pecat Saja
Pandangan yang tidak melihat kelompok rentan juga terwujud dalam anggaran belanja yang sangat maskulin. Ia melihat bahwa belanja senjata, akses, serta pelatihan untuk memblokir akses penyampaian pendapat dalam demokrasi lebih diutamakan, tapi dari sisi belanja dan fungsional anggaran belum menunjukkan pandangan pentingnya dukungan terhadap penanganan kasus kelompok rentan.
Kalis menilai bahwa reformasi di kepolisian baru akan terjadi ketika perubahan pandangan, komposisi perempuan, penghapusan citra Polwan serta penggunaan anggaran dengan seimbang terwujud. Selama belum ada yang dibenahi dari faktor tersebut, maka perubahan yang terwujud masih jauh dari harapan.