Jakarta, Gatra.com - Kasus yang melibatkan kepolisian akhir-akhir ini seperti Tragedi Kanjuruhan, Kasus Ferdy Sambo, hingga Aksi Reformasi Dikorupsi membuat banyak pihak menyerukan untuk segera melakukan revolusi di tubuh Polri.
Ketua PP Muhammadiyah sekaligus pengamat hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Busyro Muqoddas, mengatakan bahwa pendidikan polisi menjadi kunci revolusi di tubuh kepolisian.
"Filosofi pendidikan polisi, kuncinya di situ. Sesungguhnya, kurikulum di kepolisian itu seperti apa? Perlu dikonstruksi secara etis dan akademis sehingga revolusi bisa diterapkan," ucapnya pada diskusi bertajuk Mengenang Pahlawan Kanjuruhan: Mengakhiri Brutalitas, Revolusi Polisi yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara daring, Kamis malam (10/11).
Hal ini menjadi penting sebab represivitas terus menjadi pilihan kepolisian dalam penanganan situasi. Kekerasan ala militer disebutnya sebagai cara polisi menghadapi peristiwa, sehingga perlu ditelusuri bagaimana kerangka pemikiran kepolisian.
Busyro menyebutkan bahwa representasi dari kerangka pemikiran atau paradigma polisi terlihat dalam penanganan aksi Reformasi Dikorupsi serta Tragedi Kanjuruhan. Namun dalam menuju perubahan, ia meminta bersih-bersih total dilakukan di dalam kepolisian.
"Evaluasi dekonstruksi dan rekonstruksi melalui revolusi jadi agenda publik, bukan hanya agenda pemerintah saja," katanya.
Selain itu, ia juga menilai bahwa politisasi kepolisian turut menjadi permasalahan. Menurutnya, polisi akan sulit menjadi penegak hukum yang profesional bila masih menjadi alat politik.
Hal ini turut disepakati oleh aktivis dan mantan Direktur YLBHI, Asfinawati. Menurutnya, penyelewengan polisi sebagai alat negara terjadi dengan masif.
"Polisi justru melakukan pengamanan di suatu korporasi yang pekerjanya ratusan ribu dan bekonflik dengan masyarakat adat. Ini merupakan bentuk penyelewengan polisi sebagai alat negara," katanya.
Asfinawati turut menyebutkan bahwa selama ini, polisi cenderung lebih takut pada atasan dibandingkan pada hukum yang berlaku. Padahal sebagai penegak hukum, polisi justru harus berdiri menegakkan aturan.
Menurutnya, kondisi tersebut membuat kepolisian harus mendapat pengawasan bukan hanya dari internal, melainkan check and balancing yang sesuai dari pihak lain sehingga polisi bisa profesional mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya.
Sementara itu, aktivis sekaligus fotogarfer Bhagavad Sambadha menilai bahwa imunitas yang dimiliki Polri menjadi sebab perlunya perubahan di dalam institusi kepolisian.
"Muaranya dari imunitas. Kalau lihat di lapangan, polisi mulai belanja alat untuk mempersiapkan gesekan di kota. Ini terlihat dari Reformasi Dikorupsi," ucapnya.
Ia juga menyebut bahwa anonimitas yang dimiliki tim Brimob membuat brutalitas bisa dilakukan semena-mena. Saat menghadapi massa aksi maupun menghadapi kerusuhan di Kanjuruhan, ia menilai bahwa seragam yang digunakan Brimob dengan helm kaca gelap tanpa identitas seperti nama, pangkat, termasuk satuan mana, membuat penggunaan kekuatan berlebihan diterapkan.
Sebagai pelopor #1hari1oknum, Bhaga menyebutnya sebagai usaha dalam demistifikasi penggunaan kata oknum bagi Polri. Selama kata oknum masih digunakan, ia melihat bahwa polisi tidak tersentuh, sehingga diperlukan pemaknaan kembali dalam penggunaan kata oknum.
"Oknum kalau dikumpulkan bisa jadi satu mabes. Paling enggak, usaha yang bisa dilakukan ya mendemistifikasi kata oknum, sehingga lama-lama enggak ada maknanya," ucap dia.