Jakarta, Gatra.com - Bisa jadi, banyak orang tidak kalau sampai hari ini kondisi ekspor minyak sawit Indonesia sebetulnya masih belum normal meski kran ekspor yang sempat disetop akhir April lalu itu, sudah dibuka pada akhir Mei.
Kondisi ini terjadi lantaran semua instrumen terkait ekspor tadi tidak dilakukan secara instan, tapi oleh perencanaan, proses serta kontrak yang panjang.
Sementara penyetopan ekspor waktu itu telah membikin para pelaku industri sawit kelimpungan. Banyak yang kena penalti. Kapal yang sudah datang tepat waktu, berujung tak bisa pengapalan. Itu baru urusan kapal.
Di lapangan, perusahaan terpaksa membatasi panen. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) membatasi pembelian. Itu terpaksa dilakukan lantaran tanki penampungan Crude Palm Oil (CPO) yang sudah penuh.
Alhasil, baik Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit petani maupun perusahaan perkebunan sama-sama keboler (kelewat matang). Akibatnya mutu jadi turun, Free Fatty Acid (FFA) atau asam lemak bebasnya naik.
Dampaknya, bukan cuma petani yang susah, tapi juga perusahaan. Petani susah lantaran buah sawitnya tak bisa dijual, atau bisa dijual tapi harga murah dan perusahaan juga susah jual CPO lantaran tak bisa ekspor. Pun kalau ada yang mau beli, harganya murah lantaran kualitas CPO itu sudah turun.
"Waktu itu benar-benar over suplay dan itu semua lantaran kita sendiri yang bikin. Minyak sawit itu enggak sama kayak minyak bumi. Kalau harga jual minyak bumi murah, bisa tak ditambang dulu. Kalau sudah mahal, ditambang lagi. Tapi kalau sawit, tak dipanen dia rusak. Kalau sudah rusak, jadi penyakit. Itulah makanya sawit itu enggak bisa ditunda panennya," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono saat berbincang dengan Gatra.com, pekan lalu.
Lantaran itu kata Joko, pelajaran yang harus diambil dari stop ekspor tempo hari adalah bahwa sawit itu barang hidup, tak bisa ditunda-tunda panennya, produksi harus jalan terus. Lantaran itu pula, ekspor tak bisa dihambat. Semua harus berjalan lancar.
Rantai pasok industri sawit itu kata Joko demikian komplek. Kalau satu rantai saja terganggu, efeknya kemana-mana.
"Rantai pasok terganggu, akan berdampak pada semua rantai pasok. Ingat, setiap kebijakan yang menghasilkan dampak negatif pada industri sawit itu, yang pertama kena dampaknya itu ya petani," ujarnya.
Kalau eksportir, masih bisa menahan ekspornya sebulan, PKS dua minggu. Tapi petani, tahan napasnya hanya sehari. Hari itu sawit tak laku, hari itu juga dia tak makan. "Ini musti dipahami oleh semua pihak," pintanya.
Hartanto Kusuma Manurung masih ingat betul peristiwa penyetopan ekspor lalu. Soalnya pada bulan Juni, 4000 ribu ton minyak sawit PKS PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di kawasan Desa Kepayang Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat (Kalbar) yang dia pimpin, masih tetap ngendon di tanki gara-gara refinery yang ada di Kalbar, belum bisa menerima CPO.
Lantaran CPO itu lama tertahan ditanki, otomatis FFA minyak sawit anak perusahaan Djarum ini perlahan menanjak. Dalam sehari bisa merangkak 0,5-1 persen. Padahal biasanya, minimal 100 ton CPO wajib keluar dari tanki itu.
"Waktu itu memang mengenaskanlah. Kalau sampai 11 hari ke depan CPO enggak keluar juga, kita enggak bisa ngapa-ngapain lagi lantaran tanki sudah benar-benar penuh," kata ayah tiga anak ini.
Lelaki 36 tahun ini memperkirakan, butuh waktu 2-3 bulan lah baru FFA minyak yang ada di tanki itu bisa normal kembali. Sebab menurunkan FFA itu cuma bisa oleh CPO baru yang masuk ke tanki.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kalbar, Purwati, tak menampik apa yang dibilang Hartanto itu.
Ngadatnya ekspor minyak sawit waktu itu telah memaksa pabrik-pabrik di Kalbar membikin hitungan jelimet terkait daya tampung tanki timbun, termasuk perhitungan kapan CPO itu akan bisa keluar.
"Dalam kondisi normal, CPO yang keluar dari Kalbar bisa mencapai 2000-4000 ton sehari. Setelah ekspor dibuka, CPO yang keluar masih hanya sekitar 400-600 ton. Itupun sekali dua minggu," terang perempuan 58 tahun ini.
Lagi-lagi, apa yang dibilang Joko tadi tak berlebihan. Bahwa pemulihan ekspor itu enggak mudah. Butuh waktu. "Mudah-mudahan sampai akhir tahun ini terus berangsur pulih. Walau enggak 100 persen, mendekatilah," katanya.
Abdul Aziz