Home Hukum KY Sambut Baik Masukan APHA soal Hakim Harus Paham Hukum Adat

KY Sambut Baik Masukan APHA soal Hakim Harus Paham Hukum Adat

Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Masyarakat Hukum Adat (APHA), Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum, mengatakan, masih banyak hakim, khususnya yang bertugas di suatu wilayah yang kental dengan hukum adat, belum memahami hukum yang hidup (living law) di tengah masyarakat, terutama masyarakat hukum adat.

Laksanto di Jakarta, Rabu (9/11), menyampaikan, ketidakpahaman hakim tersebut tentunya sangat merugikan masyarakat hukum adat. Pasalnya, jika ada perkara adat, misalnya tentang waris maupun tanah ulayat yang masuk ke peradilan umum, hakim tak jarang menggunakan hukum positif untuk memutusnya.

“Dalam praktiknya, banyak hakim yang tidak paham atau mengerti hukum adat yang berlaku di masyarakat setempat,” ujarnya.

Baca Juga: APHA akan Eksaminasi Putusan MA soal Tanah Adat Akur Sunda Wiwitan

Akibatnya, lanjut Laksanto, masyarakat hukum adat tidak mendapatkan rasa keadilan. Padahal, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana diperintahkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Tanah ulayat tapi ditarik ke putusan perkara dan hakim melihatnya beraliran positivisme,” ucapnya.

Laksanto mengungkapkan, Guru Besar Unika Atma Jaya Yogyakarta, Prof. Dr. Dra. MG Endang Sumiarni, S.H., M.Hum., mengatakan, berdasarkan data hasil penelitian MHA yang pernah dilakukan dia di Papua, ada 13 suku yang tergolong Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan hukum serta peradilan adatnya masih eksis.

“Mereka menyelesaikan perkara-perkara MHA dengan fokus. Bagi yang bersalah, terbukti, maka mendapatkan sanksi dengan membayar denda sesuai hukum adat, wajib berdamai, dan jangan diulang kembali,” katnya.

Ketua KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menerima jajaran pengurus APHA. (GATRA/Iwan Sutiawan) 

Endang melanjutkan, eksistensi Peradilan Adat di Papua dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang terdapat dalam Pasal 50. Tentunya, ini seharusnya merupakan lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).”

“Disinyalir banyaknya upaya-upaya untuk mempositifkan hukum adat, termasuk Peradilan Adat di Papua, hal ini sangat bertentangan dengan sifat-sifat hukum adat itu sendiri,” ujarnya.

Endang menjelaskan, menurut Savigny, seharusnya keadilan itu sesuai dengan hukum yang berlaku pada masyarakat setempat dan harus berkembang sesuai living law.

“Sekali lagi, tergantung para ahli yang mengaku ahli hukum adat itu dipengerahui oleh legal positivis? Realisme hukum? Ataukah sungguh-sungguh mengikuti von Savigny dan pengikut-pengikutnya? Yang mengakui bahwa keadilan itu berdasarkan hukum yang berlaku pada masyarakat setempat (living law),” katanya.

Laksanto menambahkan, sesuai pendapat Imam Sudiyat bahwa salah satu sifat hukum adat adalah dinamis dan timbul tenggelam seperti gelombang laut di tepi pantai, sehingga juga mengikuti perkembangan zaman, terutama bentuk-bentuk konkretnya, namun nilai-nilai hukum adat tetap tidak berubah.

Sekjen APHA, Dr. Kuthi Tridewiyanti, menambahkan, selain sengketa tanah ulayat yang masuk peradilan umum, juga banyak persoalan, di antaranya diskriminatif terhadap masyarakat hukum adat oleh peradilan.

“Salah satu contoh di dalam proses-proses agama leluhur, peradilan dalam proses persidangan, karena agama leluhur, maka tentu saja perhatian-perhatian terhadap hakim itu kurung,” ujarnya.

Terkait berbagai persoalan di atas tersebut, kata Laksanto, APHA memberikan masukan kepada Komisi Yudisial (KY) dalam pertemuan jajarannya dengan Ketua KY, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum., di KY pada Selasa (8/11).

Jajaran pengurus APHA beraudiensi dengan Ketua KY, Mukti Fajar Nur Dewata. (GATRA/Iwan Sutiawan)

Salah satu masukan kepada KY, lanjut Laksanto, yakni agar hakim yang akan ditugaskan di daerah yang terdapat masyarakat hukum adat, agar diberkali pembekalan soal itu. Kemudian, perlu tidaknya membuat hakim ad hoc adat hingga jangan mempositifkan seluruh hukum adat.

“Hakim itu harus mengetahui situasi dan kondisi, kita bisa bekerja sama atau apa pun, pembekalan hakim di zona-zona di wilayah yang hukum adatnya yang masih kental,” katanya.

Mukti menyambut baik berbagai masukan APHA, khususnya agar para hakim menggali dan memperhatikan hukum yang hidup di tengah masyarakat, misalnya hukum adat. Ini juga sejalan dengan program KY, Peningkatan Kapasitas Hakim (PKH).

“KY sangat tertarik dan sangat mengapresiasi usulan APHA ini karena faktanya memang ada, khususnya berkaitan kasus tanah ulayat. Tanahnya tanah adat yang mestinya biasanya pakai hukum adat. Nanti perlu pembahasan lebih lanjut,” katanya.

Baca Juga: APHA: Kriminalisasi Masyarakat Adat Ancam Kelestarian Alam

Sedangkan untuk pembentukan hakim ad hoc hukum adat, Mukti menyampaikan, itu bukan merupakan ranah kewenangan pihaknya. Namun demikian, akan mencoba mengomunikasinya dengan Mahkamah Agung (MA). “Hakim ad hoc adat ini menarik,” katanya.

Mukti juga menyoroti soal keyakinan leluhur yang disampaikan APHA. Ia menceritakan soal seorang mahasiswi doktoral yang terpaksa harus mengisi kolom suatu agama karena tidak adanya pilihan agama atau kepercayaan yang dianutnya.

“Enggak ada kolom agamanya harus nulis apa. Ini karena keterbatasan dari aturan. Kalau dia nikah dan seterusnya. Ini semacam gagasan kalau disengketakan, misalnya perkawinan kalau mereka menikah, perceraian, apa di lembaga adat, pengadilan negeri, atau pengadilan agama,” katanya.

287