Jakarta, Gatra.com - Pemerintah merencanakan akan segera mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2023 dalam waktu dekat. Kenaikan upah minimum 2023 diprediksi akan lebih tinggi seiring capaian kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia dan inflasi yang terjaga selama kuartal III tahun 2022. Kabar ini tentunya akan menggembirakan bagi kalangan pekerja.
Namun, di sisi lain para pengusaha pun berkoar agar kenaikan UMP dan UMK tahun 2023 ditinjau ulang. Mereka menyampaikan keluh para pengusaha menghadapi tekanan ancaman resesi ekonomi global yang diperkirakan tahun depan masih akan berlanjut.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz mengatakan para pengusaha masih harus berhati-hati terhadap gejolak ekonomi di masa depan. Menurutnya, kondisi dunia usaha saat ini belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu.
"Kami juga memahami bahwa untuk menuju recovery itu kami juga tidak mudah, jadi cashflow kami stagnan. Cash management kami juga tidak bergerak," ungkap Adi dalam Rapat Kerja bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Komisi IX DPR RI di Komplek Parlemen Senayan, Selasa (8/11).
Ia mengatakan, walaupun inflasi dan pertumbuhan ekonomi RI pada tahun 2022 sangat progresif, dunia usaha dan industri merasa masih tertatih untuk memperbaiki kondisi bisnis saat ini
"Kami dari dunia usaha dan industri kiranya memang masih agak megap-megap lah kalau bahasa kerennya. Jadi kiranya mohon untuk dipertimbangkan (kenaikan UMP)," kata Adi.
Selain itu, keraguan pengusaha soal wacana kenaikan UMP dan UMK pun datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Ketua Advokasi Apindo, Darwoto mengatakan bahwa kalangan industri elektronik dan otomotif disebut telah membuat forecast atau perkiraan produksi maupun penjualan di tahun depan akan turun 10 persen dibandingkan tahun ini.
"Dan ini terkonfirmasi dengan beberapa industri elektronik dan otomotif," ungkap Darwoto.
Selain itu, Darwoto juga menyebut kebijakan pemerintah sebagian juga dinilai akan menghambat pertumbuhan bisnis industri makanan dan minuman (mamin). Kebijakan tersebut adalah sugar tax alias pajak makanan dan minuman berpemanis.
Pemerintah berencana akan mulai menerapkan pajak mamin berpemanis pada 2023. Beleid ini bertujuan untuk mengurangi laju kasus diabetes di dalam negeri yang sebagian besar dipicu dari makanan dan minuman dengan zat pemanis.
Menurut Darwoto kebijakan sugar tax memang sudah diterapkan negara lain seperti halnya Thailand. Namun, ia menyebut bahwa kalangan pengusaha di sektor ini pun telah memprediksi adanya penurunan produksi maupun penjualan sekitar 20 - 30 % saat beleid sugar tax diterapkan.
"Pada akhirnya nanti ketika kebijakan ini diterapkan akan berdampak terhadap pengurangan tenaga kerja setelah 2-3 bulan penerapan sugar tax ini, oleh karenanya ini perlu menjadi konsen," terangnya.
Karena itu, Darwoto menekankan bahwa keinginan dari dunia usaha yaitu agar pemerintah konsisten soal penetapan upah minimum berdasarkan kebijakan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Musababnya, kata dia, konsistensi kebijakan pemerintah dalam pengupahan dinilai penting demi menjaga komitmen dan kepercayaan investor asing di dalam negeri.
"Indonesia ini dipantau dalam kebijakan penetapan upah minimum ini tidak kompak antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jangan sampai nanti ada perbedaan. Harapannya adalah penerapannya sesuai dengan yang sudah menjadi aturan tersebut," imbuh Darwoto.