Jakarta, Gatra.com - Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan berkolerasi positif terhadap peredaran rokok ilegal di Tanah Air.
Menurutnya, dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat melemah sementara disparitas harga antara rokok legal dan ilegal semakin jauh. Oleh sebab itu, beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak.
“Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal itu mencapai 68%. Kalau tadinya sebelum PPN naik itu sekitar 62% tetapi begitu PPN naik dari 9,1% menjadi 9,9% itu menjadi 68%,” katanya dalam keterangan yang diterima pada Selasa (8/11).
Oleh karena itu, untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan melalui operasi "Gempur Rokok Ilegal". Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal pada periode 2018-2022 terus mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun setiap tahunnya.
Baca juga: Organisasi Pengendalian Tembakau Nilai Kenaikan Cukai Rokok Belum Maksimal
Tahun 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp662 miliar. Di tahun 2021 jumlahnya naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp293 miliar.
“Sedangkan di tahun 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp407 miliar,” ujar Nirwala.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad juga menyetujui bahwa semakin tinggi kenaikan tarif cukai rokok selaras dengan peredaran rokok ilegal.
“Kalau kenaikan cukai masih normal-normal saja, otomatis peredaran rokok ilegal ya hanya segitu-segitu saja,” katanya.
Baca juga: Makin Mahal! Pemerintah Resmi Naikkan Cukai Rokok Tembakau dan Elektrik
Menurutnya, sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara, diperlukan regulasi yang berpihak pada sektor industri hasil tembakau (IHT). Misalnya, regulasi yang berpihak kepada industri termasuk di dalamnya terkait penerapan tarif cukai rokok.
Ia juga menyebut bahwa ada beberapa cara untuk mencegah peredaran rokok ilegal yang semakin massif. Pertama, kenaikan tarif cukai rokok yang tidak terlalu tinggi. Kedua, melakukan kordinasi dengan pelaku-pelaku industri untuk memonitor peredaran rokok ilegal. Ketiga, memperluas sumber daya manusia (SDM) di daerah, serta meningkatkan anggaran terkait penindakan peredaran rokok ilegal.
“Saya yakin secara kenyataannya mungkin rokok ilegal lebih besar jika dibandingkan data resmi dari Bea Cukai, karena dari Bea Cukai itu kan data penindakan bukan peredaran rokok ilegalnya. Jadi perlu dibangun instrumen baru,” Tauhid mengatakan.
Di sisi lain, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Willem Petrus Riwu mengatakan bahwa pemberantasan rokok ilegal sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Bea Cukai.
Menurutnya, struktur peredaran rokok ilegal saat ini sudah sangat kuat. Terkadang, pabrik hanya melihat saja dan memberi informasi jika diminta.
Sayangnya Willem tidak bisa memberikan data peredaran rokok ilegal. Data itu hanya bisa diberikan kepada Badan Pusat Statistik (BPS).
“Pengalaman saya malah akhirnya jadi merugikan dan menyulitkan pihak pabrik. Kami melihat itu tupoksi pembina industri, pembina tenaga kerja dan pembina petani. Seharusnya mereka punya data itu,” papar Willem.
Lebih lanjut, Willem mengatakan bahwa pemberantasan rokok ilegal tidak bisa dilakukan secara biasa saja, karena ini merupakan kejahatan extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Pemberantasannya cukup sulit dan beberapa penegak hukum dari Bea Cukai justru menjadi korban.
“Usul kami cara memberantas rokok ileg yang aman jangan menaikkan tarif cukai terlalu tinggi agar perbedaan harga tidak terlalu besar antara rokok legal dan ilegal,” ucapnya.
Ia menjelaskan, rokok legal harus membayar pungutan pajak, cukai, dan pajak daerah sekitar 73-82% dari nilai yang dijual. Sedangkan rokok ilegal sudah bisa mendapatkan keuntungan meski menjual produknya dengan harga 80% di bawah rokok legal.
“Negara juga pasti kehilangan penerimaan serta mengancam UU APBN dan berdampak negatif bagi bangsa karena makin banyak yang beroperasi ilegal,” katanya.