Jakarta, Gatra.com - Organisasi pengendalian tembakau di Indonesia yang diwakili oleh Komnas Pengendalian Tembakau, CISDI, CHED ITB AD, Lembaga Demografi FEB UI, PKJS UI, MTCC dan TCSC IAKMI sebagai institusi yang mempunyai kepedulian pada isu kenaikan cukai hasil tembakau, memberikan pandangannya terkait kenaikan cukai rokok.
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany menyebut kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10% sangat kecil dan tidak akan efektif menurunkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak.
“Kemudahan akses dan murahnya harga rokok adalah faktor signifikan tingginya prevalensi perokok anak, sehingga kenaikan cukai yang hanya 10% ini akan kembali meninggalkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak yang kini sudah mencapai 9,1%.” ujar Hasbullah saat Konferensi Pers menanggapi keputusan pemerintah dalam kenaikan cukai rokok, di Jakarta pada Senin (7/11).
Di sisi lain, Hasbullah turut memandang kenaikan tipis ini tidak terlalu berpengaruh pada perokok adiktif mengingat terlalu dekat dengan angka inflasi tahunan.
Sementara itu, Kepala Lembaga Demografi FEB UI, Abdillah Ahsan menyoroti tentang tidak adanya penyederhanaan golongan yang dilakukan oleh pemerintah dalam kebijakan tersebut.
Struktur cukai saat ini dengan 8 golongan yang ada, jelas Abdillah, sangat memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah, serta memberikan peluang bagi produsen untuk menghindari cukai dengan melekatkan pita cukai rendah pada produk yang cukainya lebih tinggi.
“Kompleksitas sistem cukai rokok dengan sejumlah golongan tersebut, memberikan celah penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga mengakibatkan kerugian ganda bagi kesehatan dan pendapatan negara,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) merupakan amanah Undang-undang Cukai no 39 tahun 2007. Ia juga menyinggung tarif CHT per tahun di Indonesia belum pernah mencapai tarif yang dicantumkan dalam Undang-undang yaitu 57% dengan harga dasar perhitungan terhadap HJE.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi memandang kenaikan cukai yang diambil pemerintah tidak akan berkontribusi banyak dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja.
“Kenaikan cukai yang kecil ini membuat target RPJMN tidak akan tercapai dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja menjadi 8,7% pada tahun 2024. Target tersebut hanya akan tercapai jika terjadi kenaikan minimal 25% setiap tahun,” jelas Tulus.
Tulus menekankan bahwa cukai sendiri merupakan salah satu kebijakan yang cost effective untuk mengurangi prevalensi perokok. Namun cukai yang diberlakukan belum mampu menurunkan harga rokok eceran, sehingga konsumsi, terutama pada anak dan remaja masih terancam tinggi.
“Kenaikan cukai 5 tahunan sebesar 15% untuk rokok elektronik juga terlalu kecil, mengingat prevalensi rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, laju kenaikan yang sangat tinggi, bahkan lebih besar di kalangan remaja,” tambah Tulus.