Jakarta, Gatra.com – Dr. Meggy Tri Buana berpendapat bahwa perkembangan zaman mendorong perlunya rekonsepsi perjanjian perkawinan dalam konteks ke-Indonesiaan yang berbasis Pancasila.
Meggy dalam keterangan pada Kamis (3/11), melanjutkan, rekonsepsi tersebut diperlukan agar nilai kesakralan perkawinan tidak terdegradasi dengan dibuatnya perjanjian perkawinan berdasarkan KUH Perdata.
“Faktanya, nilai-nilai Pancasila, utamanya sila pertama belum sepenuhnya menjiwai pengaturan perkawinan,” katanya.
Menurut Meggy, hal itu terbukti dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat masyarakat atas perkawinan yang tercatat, namun tidak dilakukan sesuai dengan agama maupun kepercayaannya.
Baca Juga: Pernikahan Dini Sumbang Kelahiran Bayi Stunting
“Perjanjian perkawinan dipakai untuk mengatur skenario pembagian harta pada saat terjadi perceraian,” ujarnya.
Ia menilai, hal ini memberi kesan mendegradasi makna sakral perkawinan dan menipiskan komitmen untuk menjaga keutuhan maghligai perkawinan sebagaimana dicita-citakan oleh UU Perkawinan, yaitu bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, dengan tidak diatur secara jelas ketentuan tentang perjanjian perkawinan, maka isinya dapat berupa apa saja. Misalnya, adanya sanksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pengangkatan anak, atau kesepakatan tidak boleh kuliah bila sudah menikah, yang sebagian tersebut merupakan kewenangan lembaga Peradilan.
“Hal ini tidak sesuai dengan substansi perjanjian perkawinan, yaitu tentang pemisahan harta. Yang pasti, perjanjian perkawinan merupakan bentuk penyimpangan dari konsep harta bersama sebagai akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah,” katanya.
Meggy menjelaskan, pandangan tersebut merupakan hasil disertasinya berjudul “Perspektif Filosofis Hukum Perkawinan Dalam Perjanjian Perkawinan di Indonesia” yang telah diuji dalam sidang terbuka di Universitas Pelita Harapan (UPH) untuk menyandang gelar doktor.
Berdasarkan kajian yuridis normatif yang didukung dengan kajian empiris yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa istilah perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Perkawinan yang bertujuan untuk mengatur pemisahan harta, secara hukum kurang tepat untuk digunakan.
“Nomenklatur Perjanjian Perkawinan menimbulkan multi-tafsir. Sebab, arti perjanjian perkawinan lebih sering dipahami sebagai janji kawin atau ikrar kawin yang sakral dan suci yang diucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dihadapan pemuka agama,” ujar Doktor Ilmu Hukum ke-128 UPH ini.
Karenanya, Meggy mengusulkan perubahan nomenklatur dari Perjanjian Perkawinan menjadi Perjanjian Pemisahan Harta guna menghindari benturan makna dan tujuan perkawinan dengan makna dan tujuan perjanjian perkawinan dalam frasa “perjanjian perkawinan”.
Ia menjelaskan, perjanjian perkawinan yang berlaku di Indonesia dinilai belum selaras dengan Pancasila, sebagai filosofi hidup bangsa dan Negara. Penyelarasan harus perlu dilakukan, sehingga Pancasila tidak sebatas jargon, tapi juga dapat terimplementasi dalam aspek membangun mahligai rumah tangga.
Esensi muatan dan tujuan perjanjian perkawinan yang ada selama ini, cenderung terkait perjanjian pemisahan harta yang secara kategoris masuk dalam perjanjian perdata murni.
Menurutnya, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para mempelai telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, di mana pada agama tertentu tidak mengenal perceraian.
“Perjanjian perkawinan pada esensinya adalah perjanjian pemisahan harta, maka substansinya mengonstruksikan klausula-klausula hukum beserta hak dan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan,” katanya.
Menurut Meggy, hal tersebut sekaligus telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan yang menurut agama tertentu tidak mengenal perceraian.
Sejatinya, lanjut Meggy yang meraih predikat cumlaude ini, menyampaikan, perkawinan merupakan sendi dari komunitas masyarakat, bangsa, dan negara. Harus diakui, perkawinan adalah sendi adanya hukum.
Perkawinan yang sehat menciptakan keluarga bahagia yang akan membentuk bangsa bermartabat dan negara yang kuat. Hal itu selaras dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut UU tersebut bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meggy menjabarkan, sebagai negara hukum yang berideologi Pancasila, maka perkawinan tak hanya dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tapi juga harus menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan ikatan perkawinan warga negara.
Baca Juga: Kasus Nikah Dini di Yogya Melonjak Saat Pandemi, Takut Dosa Jadi Alasan Utama
Melalui disertasinya, Meggy mendorong implementasi Pancasila pada perjanjian perkawinan. “Indonesia adalah negara hukum berideologi Pancasila. Oleh karena itu, nilai-nilai agama menjadi sendi utama kehidupan berbangsa, termasuk melandasi ikatan perkawinan warga negara,” katanya.
Seiring waktu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah secara progresif landasan pengaturan perjanjian perkawinan. Intinya, selain dapat dibuat secara prenuptial agreement (pranikah) saat ini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat secara postnuptial agreement (selama dalam ikatan perkawinan).
Perjanjian itu harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Notaris dan berlaku sejak perkawinan atau jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (dapat berlaku surut).
Adapun sidang terbuka doktoral Meggy terdiri Promotor Prof. FX. Adjie Samekto, Prof. Henry Soelistyo (Ko-Promotor), Prof. Dr. Teguh Prasetyo, dan penguji lainnya. Rektor UPH, Dr. Jonathan Parapak, kemudian mengukuhkan Meggy sebagai doktor Ilmu Hukum.