Sukoharjo, Gatra.com – Kabupaten Sukoharjo berada di urutan kedua angka kematian tertinggi akibat Leptospirosis. Tercatat pada tahun 2022, tujuh warga Sukoharjo dinyatakan meninggal dunia karena penyakit ini.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, pada bulan Januari hingga September terdapat 389 orang di Jawa Tengah terkena Leptospirosis. Dari angka tersebut, 14 persen atau 55 orang meninggal dunia. Presentase tertinggi di Kabupaten Jepara sebesar 50 persen. Kemudian, tertinggi kedua Kabupaten Sukoharjo 39 persen dan disusul Kota Semarang 30 persen.
Saat dikonfirmasi atas kasus tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, menyampaikan, persentase kematian akibat Leptospirosis tertinggi kedua tersebut merupakan hasil surveillance atau pengawasan petugas yang saat ini lebih aktif.
Baca Juga: Leptospirosis Tewaskan Empat Warga Karanganyar
“Surveillance kami lebih aktif. Artinya, dengan penemuan kasus Leptospirosis ini surveillance jalan, jadi malah bisa di-konangi, karena dahulu yang ketahuan cuma empat,” ucapnya, Rabu (2/11).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, pada tahun 2022 ini ditemukan 19 kasus Leptospirosis, 7 pasien di antaranya meninggal dunia. Angka tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun 2021. Saat itu, ditemukan 4 kasus, 1 di antaranya meninggal dunia.
Jumlah kasus Leptospirosis di Sukoharjo dari tahun sebelumnya terbilang fluktuatif, dimana pada tahun sebelumnya yakni tahun 2020 ditemukan 14 kasus, 1 meninggal. Kemudian pada tahun 2019 10 kasus 3 diantaranya meninggal dunia, lalu ditahun 2018 17 kasus 4 diketahui meninggal dunia dan tahun 2017 ditemukan 3 kasus yang semuanya dinyatakan sembuh.
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira, dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini kadang disebut penyakit kencing tikus. Penyakit ini menyerang hewan dan manusia.
“Biasanya, kasus ini meningkat pascabanjir, karena penyakit ini banyak dari air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri Leptospira,” terangnya.
Saat ini, lanjut Tuti, seluruh kasus Leptospirosis dilakukan penanganan di fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya pengendalian kasus Leptospirosis sudah dilakukan, di antaranya sosialisasi tentang penyakit, pencegahan, hingga upaya pengendalian Leptospirosis.
“Semua peningkatan kasus ini berpulang pada PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), daripada manusia itu sendiri. Intinya, ada peningkatan sanitasi, jadi yang kita tingkatkan edukasi ke warga,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Direktur RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo, dr. Yunia Wahdiyati, mengatakan, tahun 2022 hingga bulan Oktober lalu, pihaknya telah merawat 5 orang pasien. Sedangkan pada tahun sebelumnya yakni 2021, ada 2 pasien penderita Leptospirosis yang menjalani rawat inap dan 3 rawat jalan.
Baca juga: Pasca Banjir, Menkes: Waspada Diare dan Leptospirosis
“Dari kasus Leptospirosis ini tidak ada yang meninggal di RSUD,” kata Yunia.
Adapun gejalanya adalah mual, muntah, meriang, sakit kepala, nyeri otot, sakit perut, diare, kulit atau area putih pada mata yang menguning, demam, ruam, dan konjungtivitis. Leptospirosis biasanya menunjukkan gejala secara mendadak dalam waktu dua pekan setelah penderita terinfeksi. Namun pada sebagian kasus, gejala baru terlihat setelah satu bulan.
“Penularannya lewat tempat-tempat kotor tercemar urine tikus, jadi sebisa mungkin bilamana di lingkungan rumah yang sekiranya berpotensi ada tikus mesti dibersihkan, termasuk selokan yang mampet,” tandasnya.