Home Pendidikan Faktor Kemiskinan Bukan Penyebab Utama Angka Putus Sekolah di Indonesia Tinggi

Faktor Kemiskinan Bukan Penyebab Utama Angka Putus Sekolah di Indonesia Tinggi

Jakarta, Gatra.com - Tingkat putus sekolah di Indonesia masih termasuk tinggi, menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun ajaran sekolah 2020/2021 terdapat sekitar 83,7 ribu anak yang putus sekolah dari mulai SD sampai SMA, baik itu yang negeri maupun swasta.

Pada provinsi Jawa Barat 10.884, DKI Jakarta 10.073, dan Sumatera Utara 9.266 yang menempati angka tingkat putus sekolah tertinggi. Kemudian provinsi dengan angka putus sekolah terkecil ada di Bali 285, Kepulauan Bangka Belitung 343, dan Kalimantan Utara 408.

Dengan tingginya angka putus sekolah yang semakin tinggi membuat Anggota Fraksi X DPR RI Partai PKS, Fahmy Alaydroes merasa prihatin dan mengatakan kalau pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama jadi perlu diperhatikan.

"Jika kita melihat data 5 tahun terakhir, angka putus sekolah perlu kita waspadai dan perhatikan, karena sejumlah putra-putri kita tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya. Jadi sejak tahun 2017 cenderung stagnan, artinya jumlah putus sekolah tidak mengalami suatu perbaikan," ucap Fahmy dalam acara Seminar Nasional "The SDGs National Seminar Series" di Bakrie Tower, Jakarta Selatan, Rabu (2/10).

Perwakilan Kemendikbudristek RI, Catur Budi Santosa menjelaskan bahwa ada faktor supply dan demand dalam mengidentifikasi anak yang putus sekolah di Indonesia. Sehingga, kemiskinan bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab putus sekolah.

“Faktor penyebab anak tidak sekolah jika dilihat dari supply-nya dikarenakan layanan pendidikan dan pelatihan yang terjangkau belum tersedia di beberapa daerah, kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan masih rendah, belum dapat memenuhi kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat. Kemudian untuk faktor demand-nya adalah adanya hambatan ekonomi dan kemiskinan yang menjadi faktor utama," tutur Catur.

Catur Budi menambahkan angka putus sekolah ini berdampak pula bukan hanya kepada siswa-siswa melainkan bagi para penyandang disabilitas. Serta terdapat persepsi dari masyarakat yang tidak terlalu mementingkan pendidikan itu sendiri.

"Serta faktor sosial-budaya yakni adanya persepsi keliru tentang pendidikan seperti sebagian masyarakat berpandangan pendidikan tidak terlalu penting. Kemudian pandangan bias gender berbasis norma sosial, kesulitan ekonomi membuat anak memilih bekerja ketimbang sekolah, serta pernikahan anak yang acapkali dianggap hal yang lazim,” jelas Catur.

508