Jakarta, Gatra.com - Sikap hakim Wahyu Iman Santosa yang mengancam pidana terhadap saksi Susi, asisten rumah tangga Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, dalam persidangan pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Richard Eliezer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (31/10), sangat disayangkan sejumlah pihak.
Seperti diketahui, Susi diancam akan diproses pidana oleh Majelis Hakim persidangan lantaran dituding memberikan keterangan yang berubah-ubah.
Advokat senior Palmer Situmorang yang juga Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) menilai, seharusnya hakim bisa lebih tenang menggali data dan mengkroscek rangkaian peristiwa semata, tidak kemudian seperti memaksa dan terkesan mengancam saksi.
Menurut Palmer, sikap hakim tersebut, seakan-akan hendak membenarkan semua opini dalam pemberitaan dalam kasus tersebut, dengan menafikan konstruksi hukum yang tengah diuji di persidangan.
"Kalau saya membaca konstruksi hukumnya, dari semua pemberitaan yang ada, maupun diskusi dengan teman-teman pengacara, sebenarnya sudah lari kemana-mana ini. Kalau hakim memberitahukan bahwa nantinya ada implikasi pidana, itu hakim sudah baik, tetapi kalau dikatakan bahwa saksi sudah berbohong, untuk apa. Gali saja pertentangan, keterangan satu dengan yang lain, keterangan saksi, berkesesuaian tidak dengan data, valid tidak, itu saja yang dipakai," ujar Palmer dalam rilis, Selasa (1/11).
Menurut Palmer, seorang hakim tentu sudah memiliki teknik interogasi yang baik, apalagi secara psikologi, meja hakim lebih tinggi dari saksi dan terdakwa, jadi jelas sekali wibawanya. Karena itu, mestinya tidak ada nada ancaman.
Ia mengatakan, para advokat, berdasarkan pengalaman puluhan tahun menjadi pengacara sejak di Peradi, para advokat tidak suka jika hakim terlalu aktif. Akan lebih baik, jaksa saja yang aktif untuk berperkara dengan para pengacara.
"Hakim hanya menilai, memberi pertimbangan, jangan kemudian malah publik menanti-nanti apa yang ada di benak hakim ini, apa sikapnya," ujar Palmer.
Palmer melanjutkan, jangan juga hakim seakan-akan memberi sikap kepada saksi, maupun terdakwa, dalam artian seperti hendak mengarahkan sudah bersalah. Seharusnya, seorang hakim bersikap lurus, ibaratnya hakim seperti god father, seseorang yang berkomunikasi dengan Tuhan dalam upaya mencari keadilan.
"Ini sudah bagus kok penyidikan perkara ini, ada kurang sedikit tinggal dirapihkan saja. Hakim tidak perlu aktif. Ini terjadi euforia sudah terbentuknya pemberitaan, seakan akan tidak diperlukan lagi kita menguji di persidangan, tinggal ketok palu saja," kata Palmer.
Ia menambahkan, walaupun hakim memiliki keleluasaan yang dilindungi undang-undang, ia mengibaratkan kewenangan itu mestinya digunakan dengan cantik, luwes.
"Hakim, kan, agung. Menempatkan diri, mengggali data dengan valid. Pendekatan aproach sekeras jaksa tak apa, tapi harus membuat saksi bisa bicara lebih enak. Kalau saksi terkungkung, ingatan di kepala dia bisa buyar, tidak fokus, apa sih yang ditanya," tegasnya.