Jakarta, Gatra.com - Perekonomian global sedang menuju jurang resesi. Resesi global sejak dekade 1970-an ditandai dua hal, yaitu: Pertama, terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi global pada awal tahun berjalan. Kedua, resesi global bersamaan dengan resesi di beberapa negara utama, seperti Amerika Serikat (AS), Zona Euro, dan Cina.
Mantan Menteri Keuangan AS dan Guru Besar di Harvard Kennedy School, Larry Summers, mengatakan bahwa perekonomian AS akan memasuki periode resesi pada tahun 2023. “Resesi tidak terhindarkan dengan kenaikan inflasi lebih besar 5,0 persen, yaitu secara tahunan sekitar 8,2 persen pada September 2022.”
Zona Euro akan mengalami resesi pada kwartal keempat tahun 2022. Resesi zona Euro diperkirakan hingga kuartal kedua 2023. Pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) riil di zona Euro menyusut 1,7 persen pada 2023.
Sedangkan perekonomian Jerman mengalami kontraksi paling parah sekitar 2,3 persen 2023. Sementara negara lainnya, seperti Italia menyusut 2,1 persen, Prancis menurun 1,2 persen dan Spanyol terkontraksi 1,6 persen.
Namun, Cina sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia, diproyeksikan tumbuh 3,2 persen 2022 dan 4,4 persen 2023. Proyeksi ini mengalami penurunan dibandingkan proyeksi April 2022, sekitar 4,4 persen 2022 dan 5,1 persen 2023.
Spillover Channel
Resesi global 2023 mempengaruhi perekonomian Emerging Markets and Developing Economies (EMDEs), termasuk Indonesia melalui beberapa jalur, diantaranya: Pertama, portofolio rebalancing channel. Kebijakan membeli kembali surat berharga pemerintah AS menyebabkan pendapatan surat berharga berjangka panjang naik.
Hal ini mendorong investor menyesuaikan kepemilikan portofolionya. Terjadi peralihan dari aset keuangan negara berkembang ke negara maju menyebabkan pengetatan keuangan di EMDEs.
Kedua, international financial market channel. Inflasi tinggi di AS, mendorong The Fed menaikkan Federal Fund Rate. Terjadi aliran modal ke luar dari EMDEs ke negara maju yang menyebabkan harga aset keuangan EMDEs menurun.
Ketiga, exchange rate channel. Kenaikan suku bunga acuan AS menyebabkan terjadinya aliran modal keluar dari EMDEs ke AS. Hal ini membuat mata uang EMDEs terdepresiasi.
Depresiasi membuat lebih banyak transaksi valas spekulatif, meningkatkan volatilitas aliran modal. Dalam regim nilai tukar mengambang terkendali, dilakukan intervensi pasa valas untuk menghindari depresiasi tajam.
Singkatnya, risiko bagi perekonomian Indonesia ke depan adalah tingginya fluktuasi nilai tukar rupiah akibat kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 75 bps menjadi 3,0 hingga 3,25 persen pada September 2022.
Pacific Link Exchange Rate menunjukkan semua mata uang negara ASEAN terdepresiasi sejak Januari 2022 dibandingkan Oktober 2022. Baht Thailand terdepresiasi 14,08 persen, ringgit Malaysia 11,89 persen, peso Pilipina 14,71 persen dan paling perkasa rupiah Indonesia hanya 7,29 persen.
Cadangan devisa juga menurun dibandingkan posisi Desember 2021, menunjukkan bahwa bank sentral aktif melakukan intervensi pasar valas. Di mana cadangan devisa Indonesia menyusut dari 144 menjadi 130, Malaysia dari 116 menjadi 109, Thailand dari 245 menjadi 215, dan Philipna dari 108 menjadi 97 miliar dolar AS pada Juli 2022.
Ekonom senior guru besar ekonomi di Universitas California, Berkeley, Maurice Obstfeld (2008) mengingatkan bahwa bank sentral sebagai lender of last resort membutuhkan cadangan devisa yang cukup untuk menjaga nilai tukarnya dan kredibilitasnya.
Akhirnya, kehati-hatian dalam intervensi pasar valas sangat penting mengingat pengalaman Australia dan Jepang, dengan intervensi valas 100 juta dolar AS hanya mempengaruhi nilai tukarnya 1,5 persen untuk dolar Australia dan 0,2 persen untuk yen Jepang. Pengaruhnya terus mengalami menurun setelahnya. Semua harus berhati-hati.
Oleh:
Muhammad Syarkawi Rauf
Dosen Fakulktas Ekonomi dan Bisnis Unhas/ Komisaris Utama PTPN IX Jawa Tengah