Jakarta, Gatra.com- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan buka suara soal respon Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Undang-undang Nomor tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Dalam putusannya, MK menyatakan seluruh dalil pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa putusan MK tersebut sesat pikir karena dirasa tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, Demokrasi dan HAM.
"Kami memandang, MK tidak konsisten antara pertimbangan dengan putusan yang diambil serta dalam beberapa pertimbangan gagal memahmi maksud konstitusi," tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan resminya, Senin (31/10).
Koalisi Masyarakat menyebut bahwa MK dalam pertimbangannya sendiri mengakui definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Kendati demikian, alih-alih membatalkan pasal tersebut, MK justru memerintahan pembentuk undang-undang untuk merevisi pengaturan tersebut melalui revisi UU PSDN yangt telah masuk Prolegnas.
Koalisi juga menilai MK seolah tidak berani menyatakan bahwa penetepan sepihak yang dapat dilakukan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) sebagaimana diatur dalam UU PSDN adalah keliru bersifat tidak demokratis dan berpotensi melanggar HAM.
"Bagaimana mungkin penetapan sepihak Menhan tanpa adanya kesukarelaan oleh pemilik SDA, SDB, dan SARPRASNAS tanpa adanya mekanisme penolakan dapat dikatakan demokratis dan seusia dengan HAM," tulisnya.
Adapun petimbangan MK yang menyatakan bahwa UU PSDN sudah mengakomodir prinsip Consentious Objection karena pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti komponen cadangan (komcad), menurut Koalisi Masyarakat adalah ngawur dan MK dinilai sama sekali tidak memahawi pokok permasalahan.
"UU PSDN memang benar tidak mewajibkan warga negara untuk mengikuti Komcad, akan tetapi UU PSDN tidak sama sekali memberikan mekanisme penolakan prinsip Consentious Objection bagi warga negara apabila telah mengikuti Komcad dan malah terhadap Constious Objector (Komcad) justru diancam dengan hukuman pidana," jelas Koalisi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melihat keputusan MK ibarat hanya mengulang preseden buruk UU No. 66 Tahun 1958 Tentang Wajib Militer.
Lebih lanjut, dalam pertimbangannya, MK mengakui bahwa sistem peradilan militer harus direformasi sebagaimana amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR No. VII tahun 2000. Dalam beleid tersebut salah satu pokoknya membagi kekuasaan peradilan sipil dan militer serta memerintahkan TNI untuk tunduk pada kekuasaan peradilan umum (sipil) dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
"Meski berpendapat demikian, MK dalam putusan tidak konsisten dengan tidak membatalkan pasal yang mempidanakan Komcad (sipil) dalam Peradilan Militer," tulis Koalisi Masyarakat.
Selanjutnya, Koalisi Masyarakat menilai keputusan MK tidak sesuai dengan Pasal 7 UU Pertahanan Negara, di mana seharusnya komponen cadangan yang dibuat Kemhan hanya ditujukan untuk kepentingan membantu komponen utama yakni TNI dalam pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan perang dengan negara lain.
"Dengan dasar pertimbangan ini hakim MK harusya mengabulkan gugatan pemohom agar komponen cadangan digunakan untuk hadapi ancaman militer saja (perang) dan tidak untuk ancaman non militer dan hibrida," sebut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.