Home Hukum Hukum Adat Sang Panglima Penjaga Kelestarian Alam

Hukum Adat Sang Panglima Penjaga Kelestarian Alam

Jakarta, Garta.com – Ketua Prodi S3 Universitas Diponegoro, Prof. Dr. M. Syamsudin, mengatakan, masyarakat adat atau masyarakat hukum adat merupakan salah satu garda penjaga kelestarian alam dan yang menjadikan hukum adat sebagai panglima.

Syamsudin dalam Webinar Nasional dan Call for Paper Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bertajuk “Perlindungan Hukum Masyarakat Berlandaskan Keratifan Lokal” pada pekan ini, menjelaskan, itu lahir dari konsep budaya hukum kearifan lokal masyarakat adat.

Ia menjelaskan, budaya hukum tersebut merupakan seperangkat pengetahuan dan nilai-nilai yang dijadikan acuan bagi masyarakat adat untuk bertindak dalam pengelolaan dan pelesatrian lingkungan (fisik dan sosial).

“Pengetahuan dan nilai-nilai tersebut terbentuk dari pengalaman hidup dari masyarakat adat dalam tradisi yang panjang melalui internalisasi, sosialisasi, dan pembudayaan,” ujarnya.

Baca Juga: APHA: Kriminalisasi Masyarakat Adat Ancam Kelestarian Alam

Pengetahuan dan nilai-nilai tersebut, lanjut Syamsudin, menjadi acuan umum (pattern for behavior) bagi masyarakat adat karena telah tersosialisasi secara berkelanjutan dan terbentuk melalui proses belajar dengan lingkungan sosial di mana mereka menjalani kehidupannya.

“Proses belajar tersebut terjadi melalui internalisasi dan sosialisasi di dalam kehidupannya, sehingga menjadi pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang dipakai untuk pedoman dalam melakukan tindakan atau aktivitas, yakni mengelola dan melestarikan lingkungan,” katanya.

Menurut Syamsudin, setiap masyarakat adat mempunyai budaya hukum (pengetahuan dan nilai-nilai) sebagai pedoman dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan (fisik dan sosial).

“Seperti apa wujudnya? Ini butuh kajian dan penggalian mendalam di masing-masing lingkungan masyarakat adat,” katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan soal hubungan manusia dan cosmos (alam) dalam perspektif adat. Pada umumnya, hal tersebut digambarkan dalam bentuk pengetahuan mythos. Misal, mythos tentang Bumi atau tanah dan langit.

Menurutnya, masyarakat adat mengibaratkan langit atau alam sebagai Bapak, sedangkan Bumi atau tanah diibaratkan sebagai Ibu. Sehingga ada sebutan Ibu Pertiwi dalma lagu 'Ibu Pertiwi' ciptaan Ismail Marzuki dan dalam Lagu Indonesia Raya ada kalimat 'Jadi Pandu Ibuku'.

“Dari hubungan Bapak-Ibu, lahir anak-anak, yaitu Bumi Putra atau Anak Negeri. Bumi adalah ibu yang mengandung (Bunda Kanduang), melahirkan dan memelihara manusia, sehingga Bumi atau tanah disebut tanah tumpah darah dari rakyat dalam lagu 'Indonesia Raya',” katanya.

Dengan demikian, hubungan antara manusia dan cosmos (alam) dalam pandangan adat analog dengan hubungan dalam keluarga antara Bapak, Ibu, dan anak-anak atau hubungan kekeluargaan.

“Hubungan kekeluargaan melahirkan prinsip kolektivisme atau kebersamaan. Dalam pandangan masyarakat adat Jawa disebut 'Urip Bebarengan atau Bebrayan',” katanya.

Seperti dijelaskan di atas, kata Syamsudin, alam semesta (cosmos) dalam pandangan adat ibarat keluarga. Dalam hubungan antaranggota keluarga tersebut perlu menjaga hubungan saling menyayangi, menjaga atau memelihara keberadaan dan keselamatannya, saling bantu-membantu dan saling tolong menolong, menjaga kerukunan, dan keharmonisan.

“Oleh karena itu, manusia sebagai Bumi Putra atau Anak Negeri wajib selalu tetap menjaga dan memperlakukan Cosmos (langit dan bumi) seperti orang tua kandungnya sendiri,” kata dia.

Baca Juga: Wabup Mentawai Fokus Perjuangkan Hak Masyarakat Adat

Menurutnya, pengetahuan dan nilai-nilai tersebut yang menjadi dasar “Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan” dalam budaya hukum kearifan lokal masyarakat adat.

Masyarakat hukum adat menerapkan memayu hayuning bawana, yakni memperindah keindahan dunia atau lahir dan batin. Ini merupakan prinsip upaya melindungi keselamatan alam (cosmos), baik lahir maupun batin.

“Cara pandang yang mistis ini berkaitan dengan lingkungan alam fisik dan sosial, yaitu perlunya bersikap dan berperilaku menjaga dan selaras dengan alam,” katanya.

Kalau terjadi bencana alam seperti banjir, hama tanaman yang merusak panen, gunung meletus yang membawa maut dan kehancuran, serta bencana lainy, ucap Syamsudin, manusia perlu mawas diri (mulat saliro hangroso wani) atas hubungan dengan alam, agar tetap menjaga keseimbangan dan keseimbangan.

428