Home Kesehatan Kisah Bayi 17 Bulan yang Berjuang Melawan Gagal Ginjal Akut

Kisah Bayi 17 Bulan yang Berjuang Melawan Gagal Ginjal Akut

Jakarta, Gatra.com- "Dia anak satu-satunya," kata Tina dengan suara bergetar, "aku menunggu dia itu lama, hampir enam tahun." Suara Tina berangsur menghilang dalam sambungan telepon. Dalam jeda lima detik, dia menghembuskan napas diiringi dengan suaranya yang getar, menangis lirih.

Masih kuat dalam ingatan ibu bernama lengkap Agustina Maulani itu, masa-masa kritis putrinya, Nadira Azea Almaira. Anak berusia 17 bulan tersebut berjuang melawan gagal ginjal akut yang dideritanya secara mendadak. Azea pun menghembuskan napas terakhirnya pada 25 Agustus 2022, pukul 07.05 WIB.

Awalnya, Tina mengatakan dirinya dan suami terkena flu pada akhir Juli 2022 lalu. Azea turut tertular, ditandai dengan demam, batuk, dan bersin-bersin. Akhirnya pada 4 Agustus 2022, Azea dibawa ke klinik kesehatan yang sering dikunjunginya ketika sakit. Dokter bilang bahwa putri Tina itu terkena sakit radang dan tanda akan tumbuh gigi.

Sepekan setelahnya bocah kecil itu sembuh dan bermain seperti sedia kala. Namun, pada 10 Agustus 2022 ia terserang demam lagi. Tina cukup khawatir anaknya terkena demam berdarah, sebab penyakit itu cukup marak di lingkungannya. Demam kedua ini, Azea dibawa ke puskesmas.

"Di puskesmas dikasih parasetamol, karena saya juga belum kasih (obat) apa-apa. Parasetamol drop botol kecil. Waktu itu dicek 37 suhunya. Cek (kesehatan) laboratorium normal," kata Tina kepada Majalah Gatra, Jumat (21/10) lalu.

Selang lima hari kemudian, Azea kembali demam. Namun kali ini demamnya diiringi dengan diare dan tak lancar buang air kecil. Tina sempat kebingungan sebab popok bayinya itu tidak menunjukkan adanya urin, meski sudah diganti berulang kali.

"Tanggal 16 (Agustus 2022) sore saya bawa ke IGD rumah sakit dekat rumah, kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Saya mengeluh anak sudah enggak pipis. Dia (Azea) dikasih obat lewat dubur, observasi 30 menit. Dokter bilang, anak saya enggak apa-apa, padahal saya sudah keluhkan dia sudah enggak pipis," Tina menjelaskan.

Di titik ini Tina curiga sebab dalam penelusurannya melalui internet, durasi 6-8 jam tidak buang air kecil itu pertanda bahaya. Dokter IGD itu malah mempertanyakan hasil laboratorium pada 10 Agustus 2022 lalu. Tina heran sebab hasil cek kesehatan itu dengan pemeriksaan sudah berjarak enam hari, yang menurutnya harus diperbaharui lagi.

"Akhirnya saya pulang, karena anak sudah membaik," ujar Tina.

Saat bangun pagi keesokan harinya, Tina kebingungan mendapati Azea menangis, lemas, dan tidak mau diangkat dari tempat tidurnya. Sore hari dia membawa kembali putrinya ke rumah sakit yang sama. Tenaga kesehatan menyebut Azea dehidrasi, tetapi tidak ada tindakan signifikan.

Kondisi diperburuk karena rumah sakit itu penuh. Azea tak mendapat kamar perawatan. Selain fasilitas yang tak memadai, Tina menilai dokter di sana juga tidak cekatan. Tina pun berlari membawa anaknya pindah rumah sakit ke kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Di sana, Azea langsung diperiksa lagi kesehatannya. Dari hasil laboratorium terdeteksi bahwa sel leukositnya tinggi, mencapai 49 ribu. Dokter yang memeriksa Azea pun melihat ada kejanggalan dari mata Azea yang bengkak, seperti bekas menangis. Dokter menyarankan cek lab lagi untuk melihat adanya dugaan gangguan ginjal.

"Besoknya, 19 Agustus, (dari hasil lab) ketahuan kreatin dan urium tinggi. Dokter bilang ini sudah akut (sakit) ginjalnya," Tina menerangkan.

Tina meminta langkah penanganan terbaik. Dokter pun menyarankan Azea untuk dilarikan ke rumah sakit dengan fasilitas dan tenaga medis yang lebih lengkap. Sebab di rumah sakit itu tidak ada ruang perawatan intensif anak atau PICU, juga tak ada dokter mikrobiologi anak.

Tanpa berpikir panjang, Tina dan suami mencabut berkas dan membawa anak semata wayangnya itu ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati, Jakarta Selatan pada 19 Agustus 2022 sore. Azea kontan digeser ke PICU pada pukul 01.00 WIB.

"Jam 01.00 masih nangis, nyari-nyari mamanya karena memang dia enggak bisa jauh dari mamanya," kata Tina dengan suara bergetar menahan tangis.

Dalam sehari, ia hanya mendapat kesempatan menjenguk putrinya 30 menit saja. Durasi itu harus dibagi dua dengan suaminya. Masing-masing hanya mendapat 15 menit menjenguk secara bergiliran.

Selama dua hari, 20-21 Agustus, Azea masih bisa merespons panggilan kedua orang tuanya. Berjalan tiga hari berikutnya, kesadarannya menurun drastis. Padahal, Azea akan melakukan tindakan cuci darah. Langkah ini gagal karena kesadarannya belum kembali. Badannya pun terasa dingin, kata Tina, tak seperti kondisi sebelumnya.

"Saat 24 (Agustus 2022) jam 12 malam, keadaan menurun. Perawat bilang jantungnya sudah 30%. Suami saat itu enggak langsung kabari aku, karena tahu (takut panik), dia bilang enggak ada apa-apa. Dia nguatin aku, tetapi 'kan perasaan ibu enggak bisa dibohongin," kata Tina.

Pagi harinya, 25 Agustus 2022, keluarga Tina dipanggil. Tina sudah bisa membaca panggilan ini, ia lantas menolak untuk masuk ruangan PICU. Benar saja, putri kesayangannya itu dinyatakan meninggal dunia.

Tina menjelaskan, selama mengunjungi empat fasilitas kesehatan, putrinya mendapat obat berbeda. Di klinik, Azea diberi parasetamol bentuk puyer. Di puskesmas, Azea mendapat parasetamol drop sirup dengan ukuran kecil.

Di rumah sakit kawasan Jagakarsa, dia mendapat parasetamol sirup produksi salah satu produsen obat dalam negeri, obat untuk mual dan muntah, radang, serta antibiotik. Sementara di rumah sakit kawasan Pondok Labu, dia mendapat obat batuk Rhinofed dan parasetamol sirup dengan produsen serupa.

Namun, Tina mengatakan tak punya kecurigaan terhadap obat-obat yang diberikan. Kekhawatiran Tina justru mengarah pada diagnosis sakit yang diderita Azea.

"Saya cuma takut anak saya kena DBD atau tipes. Karena kan beritanya (parasetamol berbahaya) belum ada. Mungkin kayak sekarang, pasti langsung curiga," kata dia.

Artikel bisa dibaca lebih lengkap dalam Laporan Utama Majalah Gatra dengan judul, "Temuan Konsisten Dalam Gangguan Ginjal Akut Anak" edisi 27 Oktober 2022-2 November 2022.

288