Jakarta, Gatra.com - Senior Officer of Sustainable Energy, Renewable Energy, and Energy Efficiency (REE) Department of ASEAN Centre for Energy (ACE), Zulfikar Yurnaidi menjelaskan mengenai tren negara ASEAN dalam menghadapi transisi energi.
"Energi itu tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan eknomi. Kami memperkirakan skenario, salah satunya AMS (National) Target Scenario (ATS). Bila seluruh negara ASEAN mencapai target pengurangan gas rumah kaca, maka pertumbuhan energi bisa turun," katanya dalam diskusi yang digelar Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Senin (24/10).
Ia menerangkan bahwa seluruh negara di ASEAN telah memiliki target transisi energi dengan net zero emission (NZE). Zulfikar berkata bahwa hampir seluruh negara kecuali Filipina punya target NZE.
"Indonesia target di tahun 2060. Singapura pada tahun 2050. Beberapa negara lain straight menyebut 2050, namun belum semua punya long term strategy," katanya.
Zulfikar juga menjelaskan salah satu contoh negara di ASEAN yang berhasil mengupayakan energi baru terbarukan (EBT) melalui energi matahari atau solar. Di Vietnam, peningkatkan penetrasi dari energi solar atau matahari berkembang pesat dalam dua tahun terakhir. Meskipun peningkatan dari sisi kapasitas belum bisa direalisakan dengan baik menjadi generation, namun upaya ke arah sana telah dilakukan sehingga bisa dijadikan sebagai pembamding dalam penerapan EBT.
Selain itu, Zulfikar menerangkan bahwa bulan lalu, baru saja terjadi perdagangan energi dari Laos ke Singapura. Pengaliran energi dilakukan melalui Lao PDR-Thailand-Malaysia-Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP). Singapura melakukan impor energi hingga 100 megawatt.
"Itu yang akan kita coba kembangkan untuk seluruh ASEAN dan bagaimana Indonesia bisa bergabung nantinya. Banyak teknologi yang kita perlu tingkatkan untuk bauran energi terbarukan," ucapnya.
Sejauh ini, perkembangan menuju EBT cukup terpengaruh dari adanya pandemi Covid-19. Selain itu, situasi geo-politik juga menentukan perkembangan EBT. Maka, Zulfikar menyebutkan bahwa resiliensi diperlukan. Hal ini harus didorong oleh peranan lembaga riset agar teknologi dan inovasi bisa semakin berkembang.
"Ketika harga materiil untuk energi terbarukan, bahkan untuk electricity semakin naik, maka akan memperlambat transisi energi secara gobal," katanya.
Perkembangan teknologi yang dibutuhkan salah satunya melalui penetrasi energi terbarukan yang bukan hanya melalui instalasi, tapi membutuhkan pembangkit dengan kapasitas lebih tinggi. Peranan dari storage juga penting untuk penyimpanan energi sehingga bisa membantu stok atau ketersediaan.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa dengan gambaran skenario lebih ambisius, yaitu target energi terbarukan 23% di tahun 2035 oleh ASEAN, itu sama persis dengan target indonesia. Menurutnya, peran Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dalam mewujudkan NZE akan sangat berpengaruh terhadap negara lainnya.
"Indonesia memang negara terbesar di Asia Tenggara, baik secara penggunaan energi, pertumbuhan ekonomi, maupun emisi. Pencapaian Indonesia akan berpengaruh besar di regional Asia Tenggara," jelasnya.