Home Ekonomi Harga Karbon Belum Disepakati, Sengitnya Perdebatan Negara G20 Jadi Sebab

Harga Karbon Belum Disepakati, Sengitnya Perdebatan Negara G20 Jadi Sebab

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah Indonesia belum menyepakati soal harga karbon dalam perdagangan karbon (carbon trading). Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebut perdebatan harga karbon masih sangat sengit di antara negara-negara G20.

"Perdebatannya sengit sekali," ujar Bahlil usai konferensi pers di Jakarta, Senin (24/10).

Ia menilai bahwa ketentuan harga karbon tidak adil antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju, harga karbon di patok jauh lebih tinggi sekitar US$100 per ton, sementara negara berkembangan hanya US$10 per ton.

Baca JugaInvestasi di Jawa Barat Jadi yang Tertinggi, Bahlil: Berkat Pemprov yang Responsif

Negara-negara maju seperti Eropa, kata Bahlil, mengklaim cara untuk mengurangi satu ton karbon di sana lebih sulit dibandingkan di negara berkembang seperti Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih memiliki hutan primer yang mampu menghasilkan carbon credit dinilai lebih mudah, sementara negara Eropa sebagian besar tidak mempunyai hutan primer.

"Saya bilang, loh kenapa kalian sudah tebang duluan di awal, masa kalian membuat sama dengan kita?," ucap Bahlil.

Karena itu, Bahlil menekankan agar negara-negara maju juga melihat usaha Indonesia mendorong hilirisasi industri hijau. Misalnya saja, hasil tambang mineral seperti nikel dan besi baja. Menurut dia, dengan hilirisasi berbasis keberlanjutan lingkungan, dan penggunaan energi baru-terbarukan dapat mendorong investasi hijau.

"Produk hilirnya kami ekspor ke mereka, kemudian kita melakukan penambangan dengan aturan lingkungan, menggunakan energi baru terbarukan, di mananya harus kalian (negara maju) protes kami?," imbuhnya.

Baca JugaMeski Ekonomi Gelap, Bahlil Optimis UMKM Beri Harapan Untuk Indonesia

Ia pun membandingkan dengan beberapa upaya negara maju yang dilakukan pada masa silam. Upaya mengamankan sumber daya alam dan nilai tambah produk hilir dalam negeri, kata Bahlil wajar jika menjadi prioritas suatu negara. Bahlil mengaku tak gentar, menurutnya antara negara-negara G20 harus bersikap adil tanpa ada upaya mendominasi.

"Tolong hargai tentang apa yang dilakukan masing-masing negara. Negara kita ini jangan mau diatur-atur, maksud saya jangan kita merasa kita lemah gitu," ujarnya. 

154