Jakarta, Gatra.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun tangan untuk membenahi karut marut di bidang hukum yang saat ini boleh dikatakan dalam kondisi darurat karena banyaknya petinggi lembaga penegak hukum yang diduga melakukan berbagai kejahatan.
Demikian salah satu poin dalam Seminar Nasional bertajuk “Darurat Peradaban Hukum: Sejauah Mana Kewenangan Presiden terhadap Lembaga Yudikatif” gelaran Peradi dan Universitas Krinawipayana (Unkris) pada Rabu (19/10).
Seminar yang dihelat secara hybrid ini, menghadirkan tiga pembicara, yakni Hakim Agung Tahun 2011-2018, Prof. Dr. Gayus Lumbuun; Ketua Umum (Ketum) Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan; Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unkris, Dr. Hartanto; Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie.
Gayus menyampaikan, kondisi peradaban hukum negeri ini sangat darurat dan mengkhawatirkan karena banyak kasus-kasus yang melibatkan sejumlah petinggi atau pejabat lembaga penegak hukum. Kondisi ini juga terjadi di lembaga yudikatif.
Baca Juga: Jaksa Sebut Sambo Sengaja Merekayasa Pembunuhan Hingga Mengganti Telpon Genggam Ajudannya
Adapun kasus termutakhir, yakni Hakim Agung Sudrajat Dimyati terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena diduga menerima suap, pembunuhan Brigadir J yang melibatkan Ferdy Sambo dkk, hingga mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol. Teddy Minahasa yang terjerat kasus peredaran narkoba.
“Yang hari ini harus dilakukan adalah bagaimana presiden bisa membenahi lembaganya [yudikatif],” ucapnya lantang.
Ia menjelaskan, Presiden harus turun tangan melakukan pembenahan lembaga yudikatif sebagaimana kewenangan yang dimiliki. Adapun yang tidak boleh adalah ikut campur dalam penanganan perkara yang menjadi kewenangan hakim.
“Presiden menugaskan kepada Menkopolhukam untuk melakukan reformasi hukum,” ujarnya.
Salah satu yang harus dilakukan, lanjut Gayus, yakni mengevaluasi semua hakim di semua tingkatan, yakni pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung (MA). Ini untuk mencari hakim-hakim yang benar-benar berintegritas yang kemudian menjadi pemimpin di tingkatan tersebut.
Setelah terpilih, kemudian terapkan Maklumat MA Nomor 1 Tahun 2017, yang intinya, kalau ada hakim yang melanggar maka dua tingkat di atasnya juga harus dijatuhkan sanksi. “Ini tidak pernah dijalankan. Sekarang kita tuntut presiden harus bisa mencampuri urusan ini untuk lembaga dengan cara evaluasi, sehingga kita punya wajah baru,” ucapnya.
Kedua, kata Gayus, presiden perlu membentuk Lembaga Eksaminasi Nasional agar putusan-putusan kontroversial karena adanya permainan hakim bisa ditinjau ulang. Ini juga untuk menyelesaikan para korban yang dirugikan akibat putusan menyimpang itu.
“Apa mau dibiarkan [karut-marut di peradilan], sementara kejahatan seksual saja presiden menerbitkan Perpu tentang Kebiri,” ujarnya.
Otto Hasibuan menyampaikan, Presiden Jokowi harus turun tangan dalam pembenahan di bidang hukum yang pascareformasi 1998 lalu tidak diikut dibenahi. Ia mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, Peradi telah mengingatkan ini melalui catatan akhir tahun.
“Kita mengatakan bahwa tidak bisa lagi nih persoalan hukum ini diselesaikan oleh para institusi penegak hukum biasa, presiden harus turun tangan. Kita sudah warning,” katanya.
Peradi mempertanyakan, mengapa para pembantu dan penasihat presiden diam dan tidak memberikan masukan soal pemetaan di bidang hukum sehingga meledaklah kasus-kasus besar yang melibatkan para petinggi lembaga hukum. “Seharusnya bisa memberikan masukan yang baik kepada Presiden,” ucapnya.
Untuk menyelesaikan sengkrut, Otto berpendapat, presiden harus melakukan reformasi hukum, yakni reformasi budaya hukum. Ini harus dilakukan karena Indonesia sudah mempunyai banyak lembaga hukum dan UU beserta turunannya.
Reformasi budaya hukum harus dilakukan karena banyaknya kasus kejahatan hingga korupsi, menyebabkan masyarakat seolah-olah permisif atas kejahatan. Saking seringnya ada kasus korupsi, masyarakat pun seolah menganggap ini bukan lagi kejahatan luar biasa.
“Tidak [bertanya] kenapa dia berbuat begitu, tapi, Kebetulan saja naas, lagi sial. Ini masalah budaya. Budaya itu cipta, rasa, karsa,” katanya menirukan pandangan publik ketika menanggapi adanya pejabat yang terkena OTT.
Baca Juga: Irjen Teddy Minahasa Jadi Tersangka Peredaran Narkoba
Menurutnya, presiden harus juga harus turun tangan karena pembenahan penegak hukum tidak bisa dilakukan dari bawah ke atas, tetapi harus dari atas ke bawah. Presiden harus berdiri di jajaran para pencara keadilan. “Backup para pencari keadilan. Baru mereka [penegak hukum] mengerjakan tugasnya dengan baik. Baru itu berhasil,” katanya.
Otto menyampaikan, beberapa kasus besar para petinggi penegak hukum harus menjadi momentum bagi presiden dan jajarannya untuk membenahi karut marut di bidang hukum.
“Saya berharap, president is the leader. Kita harus minta petuah beliau. Tunjukkan bahwa dia seorang presiden, tunjukkanlah yang baik, kami akan dukung,” ujarnya.
Sedangkan Jimly menyampaikan, saatnya melakukan evaluasi menyeluruh agar jargon Indonesia negara hukum bisa sesuai harapan. “Kalau ada komitmen, dua tahun ini presiden bisa. Ini momentum,” ucapnya.