Jakarta, Gatra.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan hasil laporan investigasi yang disusun Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang tidak memberikan kesimpulan dan rekomendasi dengan tegas, terkait dugaan kejahatan sistematis yang dilakukan aparat keamanan.
Padahal terdapat sejumlah fakta yang mengarah pada aktor high level yang berpotensi pada pelanggaran HAM yang berat, dan dugaan tindak obstruction of justice yang perlu diusut lebih jauh.
"TGIPF seharusnya sejak awal mengkonstruksikan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat, bukan sebagai pidana biasa," kata Koordinasi KontraS, Fatia Maulidiyanti ke wartawan pada Selasa, (18/10).
Baca Juga: TGIPF Minta Pengurus PSSI Tanggung Jawab Atas Tragedi Kanjuruhan
Didasari fakta-fakta yang ada, kata Fatia, diduga terjadi serangan secara sistematik oleh aparat keamanan terhadap penduduk sipil yang berpotensi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana ditegaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ketidaktegasan TGIPF menurut Fatia tampak dalam memberikan poin desakan dari rekomendasi yang ditujukan kepada institusi keamanan, yaitu institusi Polri dan TNI.
"Berkenaan dengan institusi Polri misalnya, TGIPF seolah-olah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum atasan dalam penggunaan kekuatan," tambahnya.
Baca Juga: TGIPF Temukan Bukti Baru, Mahfud MD: Kejadiannya Jauh Lebih Mengerikan
TGIPF dalam laporannya menyebutkan adanya dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando. Padahal dalam konteks doktrin pertanggungjawaban komando, meskipun penggunaan kekuatan tidak berdasarkan atas perintah atasan, komandan atau pimpinan dari kesatuan tersebut tetap bertanggung jawab secara hukum, sebab berdasarkan wewenang yang dimilikinya tidak melakukan upaya kontrol dan pencegahan sedemikian rupa kepada bawahannya, sehingga mengakibatkan korban jiwa.
"Tidak hanya soal pertanggungjawaban hukum atasan, kami juga menyoroti adanya dugaan tindak obstruction of justice yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut tampak dari keterangan sejumlah pihak yang diperoleh TGIPF yang pada intinya menyatakan CCTV di areal stadion dilarang untuk diunduh dan diduga ada upaya dari kepolisian untuk mengganti rekaman dengan yang baru," katanya.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pengusutan Tuntas Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan
Hal tersebut sejalan dengan temuan TGIPF yang menyatakan hilangnya durasi rekaman CCTV yang kemudian menyulitkan TGIPF dalam melakukan penelusuran fakta.
Namun, TGIPF tidak menjadikan temuan tersebut sebagai poin desakan untuk dapat diselidiki lebih lanjut. Padahal dugaan tindak obstruction of justice merupakan bagian dari tindak kejahatan yang harus diusut secara tuntas.