Jakarta, Gatra.com – Pengarahan langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 559 pejabat Polri dari unsur Markas Besar (Mabes) Polri, Polda, dan Polres menurut banyak kalangan adalah agenda luar biasa yang menggambarkan kegeraman presiden atas kinerja institusi Polri dalam menjalankan mandat konstitusionalnya dalam menjaga keamanan, memberikan perlindungan dan pelayanan masyarakat dan menegakkan hukum.
“Pengarahan massal seperti ini tampaknya kali pertama terjadi bagi Polri di masa Jokowi. Meskipun geram, Jokowi sesungguhnya masih sangat mempercayai Jenderal Listyo Sigit Prabowo mampu memimpin reformasi Polri,” ucap Ketua SETARA Institute Hendardi dalam keterangan yang diterima Gatra.com.
Menurut Hendardi, institusi Polri terjebak dengan riset atau persentase kepercayaan publik yang fluktuatif tanpa lebih dalam mendeteksi persoalan akut dan fundamental yang menuntut penyikapan holistik dan berkelanjutan. “Sama seperti banyak kementerian yang menghibur diri dan menghibur atasannya, yakni presiden, dengan menunjukkan kinerja melalui survei-survei kepuasan yang sangat generalis, bias dan tidak purposive kepada ahli yang menguasai isu terkait,” kata Hendardi.
Buntut dari persoalan tersebut, secara terus menerus dan beruntun, berbagai persoalan di tubuh Polri menyeruak ke publik. Setelah kasus hukum Ferdy Sambo, kontroversi konsorsium 303, kegagalan pencegahan potensi kerusahan di Kanjuruhan, kali ini kasus narkoba diduga menjerat petinggi Polri yakni Irjen Teddy Minahasa.
“Rangkaian peristiwa ini terus merusak kepercayaan publik dan semakin melemahkan kinerja Polri. Bukan hanya daya rusak internal yang mengoyak soliditas anggota dan pimpinan Polri tetapi juga daya rusak bagi publik karena keadilan yang terusik,” papar Hendardi.
Bahkan, karena peristiwa tersebut, berbagai kinerja Polri lainnya juga diragukan profesionalitas dan imparsialitasnya oleh publik. Secara sistematis dan masif gugatan atas kinerja Polri terus bergulir, termasuk kinerja Polri dalam penanganan terorisme.
“Kelompok seperti eks- HTI dan FPI misalnya, terus menerus mempersoalkan kinerja Polri dan menyebarkan berbagai propaganda yang melemahkan institusi Polri yang saat ini menemukan momentumnya. Belum lagi dugaan perkubuan dalam tubuh Polri yang jika terus dibiarkan akan semakin melemahkan Polri,” kata Hendardi.
Karena itu, Polri harus menjalankan pesan Jokowi dalam pengarahannya ke pimpinan Polri di Istana Negara bahwa Polri harus solid dan tampil percaya diri karena kalau terlihat ragu dan tidak tegas justru akan semakin menurunkan kepercayaan publik.
Keretakan dan terganggunya kohesi anggota di tubuh Polri menurutnya bukan hanya akan melemahkan kepercayaan publik tetapi potensi politisasi sistematis kelompok-kelompok tertentu. “Baik yang sejak lama menanti momentum ini karena merasa diperlakukan tidak adil dalam penegakan hukum, maupun conflict entrerpreneurs yang memanfaatkan kelemahan Polri hari ini untuk mengganggu keamanan, melakukan tindakan terorisme, maupun menciptakan instabilitas,” Hendardi menambahkan.
Pakar hukum dan HAM itu menyebut, tidak ada jalan lain bagi Polri kecuali melakukan percepatan reformasi Polri dengan desain komprehensif, berbasis bukti (evidence based) dan berkelanjutan. “Polri harus solid, profesional, berintegritas dalam menjalankan mandat, sebagaimana pesan Jokowi. Karena jika tidak berbenah, pada akhirnya, kinerja Polri juga akan merusak kinerja Jokowi, karena Jokowi adalah atasan Kapolri,” pungkasnya.