Jakarta, Gatra.com - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendorong pemerintah memperbaiki tata kelola data dan informasi kesehatan. Indonesia dinilai secara optimal belum menerapkan prinsip interoperabilitas atau kesinambungan penggunaan data. Selain itu, Pengelolaan data selama ini masih bersifat ego-sektoral karena penataannya terpecah antara otoritas lembaga dan kementerian berbeda.
Chief Strategist CISDI, Yurdhina Meilissa, mengatakan saat ini sektor kesehatan memproduksi banyak sekali data, yang jika digabungkan dan dianalisis dapat menjadi insight yang membantu operasional keseharian fasilitas layanan kesehatan dan kantor asuransi kesehatan.
Baca Juga: Perhatian! Sudah Waktunya Kurangi Impor Vaksin Covid-19
"Mengkombinasikan sumber-sumber informasi kesehatan yang berbeda juga dapat membantu pengambil kebijakan membuat patokan kinerja dan menargetkan intervensi sehingga delivery layanan bisa lebih berkualitas dan efisien,” kata Yurdhina dalam webinar KOLASE (Kolab Sehat) bertajuk “Mewujudkan Keterwakilan Data Kelompok Rentan yang Berkeadilan lewat Tata Kelola Data Kesehatan”, Jumat (14/10).
Yurdhina juga menyayangkan fragmentasi data kesehatan yang masih berjalan saat ini mempersulit seluruh pihak dalam mencari lebih banyak insight dari data yang ada. Akibatnya, terdapat ketidaktepatan dalam targeting (mis-targeting). Data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) menjadi rujukan bagi banyak program bantuan sosial di Indonesia bergantung pada database kependudukan, sistem pencatatan sipil dan statistik vital (Civil Registration and Vital Statistic/CVRS).
“Namun, DTKS yang jarang di-update dan sistem identifikasi dan otentikasi JKN yang tidak terintegrasi secara memadai dengan sistem verifikasi NIK mengakibatkan tingginya risiko duplikasi entry pada data kepesertaan program JK, fraud, dan juga penyalahgunaan identitas untuk mendapatkan akses terhadap paket manfaat. Cakupan kepemilikan NIK dan KTP yang rendah juga menjadi penyebab eksklusi kelompok rentan,” jelasnya.
Baca Juga: C20: Ketimpangan Akses Pengobatan Covid-19 Masih Ada
Selain interoperabilitas data yang belum optimal, Indonesia belum memiliki instansi pusat yang berwenang melakukan pembinaan dan standarisasi terkait data atau dikenal dengan pembina data. Terlebih, Presiden juga belum menetapkan pembina data untuk data sektor kesehatan dalam Perpres Satu Data Indonesia.
"Penetapan pembina data untuk sektor kesehatan ini penting agar dapat menjadi acuan seluruh instansi, baik pusat maupun daerah dalam proses bagi dan penggunaan data kesehatan serta integrasi data kesehatan," tegasnya.