Home Sumbagsel Ekonomi Hijau Berbasis Kearifan Lokal Warga Bangsal

Ekonomi Hijau Berbasis Kearifan Lokal Warga Bangsal

Palembang, Gatra.com - Praktik pertanian terintegrasi masyarakat Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komerng Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), menjadi rule model dalam menggalakkan ekonomi hijau berbasis kearifan lokal di daerah ini.

Saat ini Indonesia khususnya di Sumsel, dihadapkan pada tantangan sosial dan demografi. Dalam ekonomi hijau atau green economy sangat penting untuk dapat dihasilkan produk yang ramah lingkungan serta penerapan teknologi ramah lingkungan.

“Ekonomi hijau akan mendorong pergerakan industri hijau dengan prinsip efisiensi dalam proses produksi dan efektifitas, dalam penggunaan sumberdaya alam berkelanjutan dan bersifat inklusif,” ujar Sari Seftiani, Koordinator Kajian Kualitatif Demografi Long Form / Peneliti Pusat Riset Kependudukan, kepada Gatra.com, di sela kegiatan Diseminasi hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerjasama dengan BPS di Palembang, Rabu (12/10).

Praktik ekonomi dengan dukungan kearifan lokal warga Desa Bangsal, dijalankan antara lain penerapan produksi bersih konservasi energi, eco- design, proses daur ulang yang rendah emisi sehingga emisi yang dihasilkan menjadi minimal.

Berdasarkan hasil riset pertanian terintegrasi yang ada di Desa Bangsal, yang merupakan kawasan kesatuan hidrologis gambut (KHG), selain petanian rawa, juga merupakan lokasi ternak kerbau rawa ras Pampangan, serta budi daya ikan air tawar (rawa). Di mana, untuk sektor pertanian, warga memaksimalkan pupuk organis hasil olahan kotoran kerbau.

Begitu juga dengan budi daya ikan rawa, warga memanfaatkan sisa makanan untuk memproduksi maggot, dengan begitu dapat mengurai sampah organik. Bahkan warga Desa Bangsal, juga diketahui telah menerapkan zero waste atau salah satu upaya untuk meminimalisir sampah mulai dari produksi sampah berakhirnya suatu produksi.

Hasil kajian kerjasama BPS dan BRIN disampaikan melalui kegiatan diseminasi yang diselenggarakan pada Oktober hingga November 2022. Diseminasi akan berlangsung di tujuh kota yaitu Palembang, Semarang, Balikpapan, Makassar, Ambon, Kupang dan Manokwari.

Dr Agus Eko Nugroho, Kepala OR BRIN menyampaikan, riset terkait ekonomi hijau ini dilakukan di 34 provinsi. Riset ini untuk menapaki program nasional peningkatan ekonomi hijau berlelanjutan (sustaybiliti), melalui aktifitas pertanian dan juga perkebunan dapat memberi satu kekuatan ekonomi yang tetap menjaga kelestarian lingkungan.

“Oleh sebab itu pelibatan aspek demografi yang menekankan dinamika kependudukan menjadi penting dalam paradigma ekonomi hijau. Pelibatan ini bukan hanya dari sisi kuantitas, namun yang jauh lebih penting adalah kualitas kependudukan itu sendiri,” katanya.

Lanjutnya, dari hasil riset yang dilakukan diharapkan memberi kontribusi bagi pemangku kebijakan dalam membuat regulasi dan juga kebijakan dalam rangka peningkatkan sektor ekonomi masyarakat. Di samping, memberikan penguatan juga pemahaman kepada masyarakat berkaitan dengan sistem pengelolaan lahan.

Temuan pada riset ini memperlihatkan pola pengembangan ekonomi hijau di Indonesia masih bersifat project driven, tidak terorganisasi dengan baik (unorganized), (skala kecil) dan belum melakukan optimasi pada aset demografi. Implementasi konsep ekonomi hijau yang ada saat ini lebih menekankan pada transformasi ke arah teknologi tinggi/canggih (advanced) dan bagaimana meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) agar menyesuaikan dengan teknologi tersebut sehingga akan membuka lapangan kerja hijau (green jobs).

Di kesempatan tersebut, Julian Junaidi (Polong) Akademisi Unsri yang banyak berkecimpung di sektor agroekologi di Sumsel, menyoroti bahwa dalam hal peningkatan ekonomi hijau yang digaungkan oleh pemerintah bukan sekedar melaksanakan kajian-kajian normatif saja. Melainkan, menyentuh di berbagai aspek kehidupan.

“Karena kalau berbicara ekonomi kerakyatan, tentu kita harus juga berbicara bagaimana bukan hanya terkait tata kelola, melainkan juga tata kuasa atas lahan. Selain itu, masih minim membahas kaum rentan yang merupakan satu kesatuan dalam kehidupan masyarakat,” katanya.

Sebuah kajian yang menelaah praktik ekonomi hijau di 34 provinsi di Indonesia. Kajian terlaksana dengan komposisi tim beranggotakan statistisi BPS dan peneliti BRIN. Studi ini menggarisbawahi bahwa pembangunan ekonomi hijau di Indonesia perlu memperkuat tiga hal penting :

  • Pertama, kearifan antar generasi (intergenerational wisdom); proses transisi dan transformasi menuju Indonesia yang berkekuatan ekonomi hijau membutuhkan dialog antar generasi untuk mengisi ruang pengetahuan dan knowledge brokering untuk mendukung percepatan dan keberlanjutannya. Temuan di Jawa Tengah kelompok muda menjadi ujung tombak sekaligus middlemen jejaring pengetahuan dan pemasaran produk kepada “pasar hijau”di Singapura. Pada saat yang sama generasi sebelumnya memperkuat transfer “wisdom” dalam pengelolaan ekosistem;
  • Kedua , institusi sosial (social institution). Poin kedua ini akan mendukung dan mengoptimalkan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia yang saat ini masih memiliki keterbatasan pada modal. Misalnya, studi kasus paring-paring gurita (perikanan di Sulawesi Tenggara) dan upaya konservasi hutan seperti tradisi resan berdasarkan nilai kepercayaan seperti yang terjadi di Yogyakarta;
  • Ketiga, pengenalan teknologi yang tepat guna. Sebagai contoh di sektor limbah, teknologi pirolisis untuk mengubah plastik menjadi solar belum berjalan optimal karena biaya gas untuk menggerakkan mesin ini jauh lebih mahal dibandingkan solar yang dihasilkan.
708