Jakarta, Gatra.com - Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso menilai keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Nico Afinta buntut peristiwa kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim bukan karena melanggar etik melainkan desakan publik.
"IPW melihat pencopotan Irjen Nico Afinta sebagai Kapolda Jatim lebih karena besarnya tekanan publik terhadap kepolisian terkait kasus Kanjuruhan, khususnya tekanan di Jawa Timur, bukan karena adanya pelanggaran disipilin maupun kode etik," kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso saat dikonfirmasi, Kamis, (13/10).
Baca Juga: Pengamat: Pencopotan Kapolda Jatim Dan Kapolres Malang Bukan Bentuk Sanksi Tragedi Kanjruhan
Kapolri mencopot Irjen Nico Afinta dan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat buntut kerusuhan yang menewaskan 132 orang itu. Irjen Nico dimutasi sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Sosial Budaya, sedangkan AKBP Ferli Hidayat dipindah sebagai perwira menengah (pamen) bagian Sumber Daya Manusia (SDM).
Kini, jabatan Kapolda Jatim diemban Irjen Teddy Minahasa. Dia sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Sumatra Barat.
IPW punya dua catatan agar tragedi Kanjuruhan tak terulang. Pertama, Sugeng meminta Irjen Teddy mampu meningkatkan profesionalisme anggota di lapangan dengan pembinaan dan pengawasan yang ketat. Profesionalisme di lapangan itu, kata dia, anggota yang dikerahkan harus ahli sesuai bidangnya dan juga memahami regulasi.
"Memadukan antara keahlian dan regulasi adalah satu seni di dalam menjalankan tugas di lapangan, sehingga tidak terjadi pelanggaran prosedur," ungkap Sugeng.
Anggota di lapangan juga harus memiliki kemampuan teknis dalam mengatasi tantangan situasi yang berkembang capat di luar dugaan. Dengan tidak melanggar prosedur, khususnya terkait penerapan regulasi.
Catatan kedua, IPW meminta perhatian penuh Kapolda Jatim Irjen Teddy Minahasa terkait dugaan mafia hukum dalam penanganan perkara-perkara pidana di wilayah Polda Jatim. "Karena IPW mendapat beberapa laporan dari masyarakat adanya mafia hukum yang mengintervensi tugas-tugas penyidik dan oknum penyidik yang dipengaruhi," ucap Sugeng.
Baca Juga: Perwakilan FIFA dan AFC Datang ke Indonesia Terkait Tragedi Kanjuruhan
Sebelumnya, Kerusuhan di Stadion itu terjadi usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu malam, (1/10). Berawal saat Arema kalah dengan skor 2-3. Suporter Arema turun ke lapangan dari tribun.
Hal itu membuat aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke tribun untuk menghalau massa ke luar lapangan. Rata-rata korban tewas diduga karena sesak napas akibat terpapar gas air mata.
Polri mengatakan total korban dalam tragedi Kanjuruhan sebanyak 738 orang. Sebanyak 132 tewas dan 607 luka-luka yang terdiri dari 532 luka ringan, 49 luka sedang, dan 26 luka berat