Jakarta, Gatra.com - Langkah Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo untuk mencopot Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Nico Afinta dan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat imbas peristiwa Tragedi Kanjuruhan, Malang, tak bisa dimaknai sebagai bentuk pemberian sanksi.
Dibandingkan sebuah sanksi, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto, Justru lebih melihat pencopotan kedua perwira tersebut sebagai langkah penyelamatan ditubuh internal Polri.
Baca Juga: PSSI Klaim Temukan Botol Miras di Stadion Kanjuruhan, Ternyata Obat Sapi
"Asumsi yang muncul seperti itu, bila tidak ada pertanggungjawaban dari masing-masing sebagai pemegang otoritas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) setempat," kata Bambang Rukminto kepada wartawan, Kamis, (13/10).
Bambang melihat hal itu dengan berkaca dari pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo yang menyebutkan hanya mutasi dan promosi biasa. Jika diartikan dari pernyataan itu, maka pencopotan keduanya tidak bisa diartikan sebagai konsekuensi tanggung jawab pada tragedi Kanjuruhan.
"Kalau pencopotan itu bukan mutasi biasa harusnya juga diikuti dengan pemeriksaan dan sidang komisi kode etik Polri (KKEP) bila ada temuan pelanggaran," ungkap Bambang.
Apalagi, Irjen Nico Afinta yang dimutasi sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Sosial Budaya maupun AKBP Ferli Hidayat dipindah sebagai perwira menengah (pamen) bagian Sumber Daya Manusia (SDM) dinilai bambang masih punya jabatan itu dinilai masih strategis.
Kalau bicara sebagai bentuk pertanggung jawaban atau sanki, seharusnya keduanya di-nonjob-kan, dipindah sebagai Pelayanan Markas (Yanma) Polri, atau analis kebijakan (anjak).
Baca Juga: Perwakilan FIFA dan AFC Datang ke Indonesia Terkait Tragedi Kanjuruhan
"Sebagai staf ahli Kapolri tentunya memiliki peran yang besar untuk memberikan saran dan masukan pada Kapolri," ujar Bambang.
Saat ini Kapolri sudah menetapkan enam tersangka dalam insiden maut itu. Namun, penetapan tersangka itu dipandang hanya menyasar aparat keamanan dengan pangkat rendah saja dan operator pertandingan. Bambang menyebut Polri belum menentukan siapa yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang menewaskan 132 orang tersebut.
"Memang sampai saat ini Polri belum menentukan siapa yang harus dan paling bertanggung jawab pada tragedi ini," ujar peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu.
seperti diketahui sebelumnya, Kerusuhan di Stadion itu terjadi usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya pada Sabtu malam, (1/10). Berawal saat Arema kalah dengan skor 2-3. Suporter Arema turun ke lapangan dari tribun.
Baca juga: Insiden Kanjuruhan, PSSI: FIFA Belum Membahas soal Sanksi
Hal itu membuat aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke tribun untuk menghalau massa ke luar lapangan. Rata-rata korban tewas diduga karena sesak napas akibat terpapar gas air mata.
Dedi mengatakan total korban dalam tragedi Kanjuruhan sebanyak 738 orang. Sebanyak 132 tewas dan 607 luka-luka yang terdiri dari 532 luka ringan, 49 luka sedang, dan 26 luka berat.