Jakarta, Gatra.com - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2020–2024 menekankan peran transformasi digital dalam mendorong produktivitas ekonomi dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia telah memiliki seperangkat peraturan yang mendorong transformasi digital, seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Meski demikian, belum ada kerangka kebijakan yang secara khusus mengarahkan pengembangan keterampilan digital di Indonesia. Padahal kerangka kebijakan merupakan hal penting yang menentukan keberhasilan Indonesia dalam menerapkan dan memperoleh manfaat dari transformasi digital.
Transformasi digital sendiri telah terbukti membawa banyak manfaat bagi masyarakat pada masa pandemi Covid-19. Dalam beberapa studi misalnya, internet terbukti memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui inklusi, efisiensi, dan inovasi. Di samping itu, internet memiliki peran dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi dan mengurangi biaya transaksi melalui platform niaga-el atau e-commerce.
Namun, pada saat bersamaan, masih ditemukan kesenjangan digital di antara individu/keluarga, pekerja/pelaku usaha, lembaga pemerintah, dan perusahaan swasta di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021, masih terdapat sekitar 36% individu berusia 5 tahun ke atas yang belum mengakses internet dan 64% pekerja/pelaku usaha berusia 15 tahun ke atas yang belum menggunakan internet dalam pekerjaan utamanya.
Kondisi ini diperparah dengan masih rendahnya tingkat digitalisasi di sektor pemerintahan dan swasta. Berdasarkan Indeks Adopsi Digital (Digital Adoption Index) 2016 yang disusun oleh Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara Asia Tenggara untuk Subindeks Pemerintahan dan peringkat ketujuh untuk Subindeks Bisnis. Hal ini menjadi tema yang dibahas dalam Seminar Forum Kajian Pengembangan “Mengembangkan Keterampilan Digital di Indonesia” yang diselenggarakan The SMERU Research Instititute di Cikini Raya, Jakarta Pusat pada Rabu (12/10).
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah pembicara di antaranya peneliti SMERU Jonathan Farez Satyadharma, peneliti CSIS Adinova Fauri, dan Kepala Pusat Pengembangan Profesi dan Sertifikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Hedi M. Idris. Kegiatan tersebut dipandu dan dimoderatori oleh peneliti senior SMERU, Palmira P. Bachtiar.
Dalam seminar tersebut, Peneliti SMERU, Jonathan Farez Satyadharma menekankan pentingnya mendorong transformasi digital melalui akselerasi keterampilan digital. Menurutnya, keterampilan digital merupakan faktor kunci untuk mengoptimalkan potensi ekonomi digital dan transformasi digital secara keseluruhan. Farez membeberkan dua faktor yang berpengaruh dalam pengembangan literasi digital. Faktor pertama, ketersediaan akses atau infrastruktur jaringan. Sedangkan, faktor kedua yaitu aspek sosial.
“Apakah mereka ini dibolehkan atau tidak menggunakan internet, itu dilihat dari pengalaman atau nilai-nilai sosial di masyarakat. Di sisi lain juga mereka belum tahu sebetulnya pemanfaatan dari teknologi digital ini,” ujar Farez.
Hal lain yang menjadi tantangan, yakni rendahnya literasi digital masyarakat, terutama pada aspek literasi data dan informasi. Hal itu ditunjukkan oleh studi PISA (2018), studi PIAAC (2015), dan Survei Kominfo (2020). Rendahnya literasi digital meningkatkan risiko terpapar hoaks atau kejahatan internet lainnya, atau penggunaan internet yang tidak produktif.
Farez menyebut, penting bagi pemerintah dan semua pihak mensosialisasikan pentingnya pemanfaatan atau kegunaan dari teknologi digital tersebut. “Karena di sisi lain juga mereka yang tidak mau untuk mengakses itu jadi terlambat mereka untuk alih teknologinya, sehingga enggak bisa memanfaatkan potensi itu sebaik-baiknya,” katanya.
Menurutnya, pengetahuan basic atau wawasan penting dalam pengembangan literasi digital. “Apabila kita enggak bisa memiliki basic untuk membaca, kita tidak bisa meningkatkannya ke level literasi digital. Di mana literasi digital ini sangat membutuhkan kemampuan berpikir kritis dan apabila kita tidak bisa, kita tidak bisa masuk ke tahapan lebih bagus lagi,” ucap peneliti junior SMERU tersebut.
Sementara itu, peneliti CSIS Adinova Fauri menjelaskan tentang pentingnya keahlian digital di era disrupsi teknologi saat ini. Menurutnya, terdapat tiga isu besar dalam pengembangan keahlian digital. Pertama, keahlian digital merepresentasikan aspek kunci dalam pengembangan ekonomi digital suatu negara. Kedua, terdapat gap atau kesenjangan keterampilan digital masyarakat yang diperparah oleh kondisi pandemi Covid-19 yang menuntut adaptasi digital secara masif. Terakhir, literasi dan keahlian digital menjadi agenda prioritas yang didiskusikan dalam Presidensial G20.
Implementasi “Digital Skills Toolkit” menurutnya dibutuhkan untuk pengembangan literasi digital. “Digital Skills Toolkit” menjadi langkah kolaboratif peneliti bersama pemerintah untuk mengembangkan tookit yang mengukur status keterampilan digital menggunakan indikator yang relevan di negara-negara G20.
“Toolkit ini dirancang untuk mengumpulkan informasi dari data yang tersedia dan melengkapinya dengan pedoman survei khususnya di Indonesia. Selain itu, Toolkit ini bertujuan untuk mengeksplorasi kemungkinan penggunaan perangkat keterampilan digital untuk mencapai ekonomi digital yang inklusif,” terang Adinova.
Menurutnya, isu keamanan digital juga penting diperhatikan menyikapi situasi yang terjadi belakangan ini. Adinova mengatakan, ketersediaan dan kualitas infrastruktur menjadi hal yang mutlak diperhatikan dalam ekosistem keamanan digital. “Yang lebih penting itu bagaimana membuat infrastruktur yang lebih baik, tidak asal sharing ke pihak lain dan sebagainya. Dan ketika kita bicara infrastruktur yang baik itu tidak hanya jaringan tapi juga SDM di dalamnya,” kata peneliti Departemen Ekonomi CSIS tersebut.
Kepala Pusat Pengembangan Profesi dan Sertifikasi Kominfo, Hedi M. Idris mengatakan, pemerintah telah menetapkan sepuluh (10) target Indonesia Digital yang dicapai pada 2024. Untuk merealisasikannya, dibutuhkan kolaborasi yang erat antar pemangku kepentingan, baik sektor publik maupun swasta. Target tersebut di antaranya dengan mencetak 600 ribu talenta digital yang dilatih setiap tahun, penambahan 2,5 juta lapangan kerja tambagan dan 5.000 jumlah pertumbuhan perusahaan rintisan startup.
“Saat ini penting untuk membuat prediksi dengan menggunakan big data. Misalnya, dalam menjawab kondisi sumber daya digital apakah sedang terjadi over demand atau over supply,” katanya.