Jakarta, Gatra.com – Ketua II Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), dr. Aji Djatikusumo, Sp.M(K), Dokter Spesialis Mata Konsultan Dr. dr. Gitalisa Andayani, Sp.M(K), dan Dr. dr. Elvioza, Sp.M(K), memaparkan penyakit Diabetim Makular Edema (DME) dan bagaimana penanganan serta pengobatannya.
“Pasien diabetes perlu melakukan tindakan pencegahan agar tidak mengalami komplikasi pada matanya, salah satunya yaitu DME," kata Ari dalam dalam Virtual Media Briefing “World Sight Day 2022: Hindari, Cegah, dan Kontrol Komplikasi Mata pada Pasien Diabetes Melitus” pada Selasa (11/10).
Menurutnya, pasien DME harus paham bahwa DME merupakan salah satu penyakit mata yang perlu mendapatkan pengobatan sedini mungkin. Oleh sebab itu, dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/ WSD) 2022, seluruh masyarakat diingatkan akan pentingnya kesehatan mata, yang berdampak pada pendidikan, pekerjaan, kualitas hidup, hingga kemiskinan.
Baca Juga: Ini Penjelasan Dokter soal Pengobatan DME dengan Studi VIVID-VISTA
DME masih menjadi penyakit yang menjadi beban masyarakat. Diperkirakan sekitar 93 juta orang terdampak diabetik retinopati dan sekitar 21 juta orang di antaranya menderita DME4 secara global.
Di Indonesia, diprediksi terdapat sekitar 28.6 juta penderita diabetes5. Di antara pasien DM di Indonesia, diprediksi sekitar 5.5% akan menderita DME6. “Indonesia saat ini menempati peringkat 5 dunia dengan penderita diabetes terbanyak," ujaranya.
Kondisi tersebut tentunya menjelaskan bahwa perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya pasien DME, agar senantiasa memilih pengobatan yang tepat.
Penderita diabetes tipe 1 dan 2 berisiko menderita DME dan kehilangan penglihatan8. Sejumlah 43% pasien diabetes ini memiliki risiko untuk menderita diabetik retinopati dan 26% di antaranya juga memiliki risiko kehilangan pengelihatan.
"DME merupakan salah satu penyakit mata yang perlu dicegah dengan cara mendapatkan pengobatan sedini mungkin," katanya.
dr. Gitalisa menambahkan, pada penderita diabetes, gula darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah kecil di dinding belakang bagian dalam mata (retina) atau dapat menyumbat pembuluh darah secara keseluruhan.
Gejala awal DME, jelasnya, biasanya diawali dengan penglihatan yang mulai kabur, lalu hilangnya warna kontras yang bisa dikenali mata, sampai akhirnya timbul titik buta.
Skrining DME sangat diperlukan, apalagi mereka yang sudah memiliki riwayat diabetes. Bagi pasien dengan DM tipe 1 direkomendasikan untuk melakukan skrining 3-5 tahun setelah terdiagnosis DM.
Untuk DM tipe 2 perlu dilakukan skrining segera setelah terdiagnosis DM, lalu dianjurkan untuk melakukan skrining ulang setiap tahunnya.
“Penanganan terapi DME dapat difokuskan menjadi 2, yaitu kontrol faktor sistemik dan memberikan terapi okuler," kata Elvioza.
Baca Juga: Hari Penglihatan Sedunia, Angka Kebutaan di Indonesia Masih Tinggi
Ia menjelaskan, kontrol faktor sistemik bertujuan untuk mencegah retinopati dan progresivitas penyakit dengan cara mengontrol gula darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah. Sedangkan terapi okuler bertujuan untuk mencegah kehilangan penglihatan dan memperbaiki penglihatan dengan cara terapi anti-VEGF, terapi laser dan steroid.
Elvioza menambahkan, pengobatan DME sudah berkembang dan inovatif. Berdasarkan penelitian Protocol T oleh DRCR.net (Diabetic Retinopathy Clinical Research Network) yang menunjukkan ketiga anti-VEGF (Aflibercept, Ranibizumab dan Bevacizumab) memperlihatkan efikasi yang sama baiknya pada pasien dengan penurunan penglihatan tidak terlalu berat. Meskipun begitu, Aflibercept menunjukkan efikasi yang lebih baik bagi pasien yang kondisinya berat.
Penelitian VIVID dan VISTA memberikan bukti bahwa pengobatan yang intensif untuk DME memberikan manfaat yang lebih baik. Penelitian VIVID dan VISTA menggunakan injeksi dibandingkan dengan pengobatan dengan laser. Hasil penelitian menunjukkan bahwa injeksi aflibercept dengan 5 dosis awal memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan laser.