Home Hukum Istri dan Anak Lukas Enembe Menolak Jadi Saksi Perkara, Undang-undang hingga Hukum Adat Jadi Alasan

Istri dan Anak Lukas Enembe Menolak Jadi Saksi Perkara, Undang-undang hingga Hukum Adat Jadi Alasan

Jakarta, Gatra.com - Istri Gubernur Papua, Lukas Enembe yang bernama Yulice Wenda dan anaknya (Astract Bona Timoramo Enembe) menolak menjadi saksi atas perkara dugaan gratifikasi Rp1 miliar yang menyeret suami/ayah mereka.

Menurut anggota tim kuasa hukum dan advokasi Gubernur Papua, Petrus Bala Pattyona, penolakan menjadi saksi oleh istri dan anak kandung Lukas Enembe sudah sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun ayat 1 pasal tersebut menyebutkan orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa. Pada ayat 2 berbunyi orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa.

Selain itu, Petrus mengatakan hak penolakan menjadi saksi juga diperkuat dengan ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yang menyebut kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangan dan mengundurkan diri sebagai saksi (a) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau Bersama-sama sebagai terdakwa.

"Dan oleh karena itu, kami selaku Tim Hukum mohon penyidik sebagai pelaksana undang-undang, untuk tidak memaksa dan/atau mengancam saksi Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, untuk memberikan keterangan dalam perkara a quo, yang diduga dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan secara melawan hukum/melanggar undang-undang (abuse of power),” kata Petrus dalam keterangannya di Jakarta, Senin (10/10).

Menurut kuasa hukum Lukas Enembe yang lainnya, Roy Rening, istri Lukas mengaku tak mengetahui sama sekali perihal dugaan gratifikasi yang disangkakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap suaminya.

“Saat kejadian (pada hari diduga ada transfer uang pada 11 Mei 2020), saksi Yulice Wenda sedang berada di Jakarta, karena menemani suaminya yang sedang sakit. Bagaimana bisa menjadi saksi, kalau tidak melihat atau mengetahui langsung proses pemberian gratifikasi tersebut,” ujar Roy.

Sedangkan saksi Astract Bona Timoramo Enembe yang tak lain adalah putra Lukas, juga mengaku tidak mengetahui sama sekali tentang dugaan pemberian gratifikasi. Astract Bona mengatakan kepada kuasa hukum Lukas bahwa pada saat dugaan pentrasferan dana Rp1 miliar ke ayahnya, dia sedang berada di Australia, untuk menyelesaikan kuliahnya. “Jadi memang tidak mengetahui sama sekali, adanya dugaan gratifikasi tersebut,” tukas Roy.

Roy pun menggarisbawahi Pasal 1 angka 26 KUHAP menjelaskan definisi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan, tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.

“Jadi bagaimana mungkin istri dan anak Gubernur Lukas Enembe, menjadi saksi, kalau tidak melihat, mendengar atau mengalaminya sendiri?,” tutur Roy.

Selain itu, kearifan lokal Papua menjadi alasan keduanya menolak menjadi saksi perkara yang menjerat Lukas Enembe. Aloysius Renwarin yang merupakan salah satu anggota tim kuasa hukum Lukas menyebut keputusan keluarga besar dan Masyarakat Adat Papua melarang istri dan anak Lukas pergi ke Jakarta.

Keduanya diwajibkan menemani Lukas yang sedang sakit dan tidak diperbolehkan meninggalkan tanah Papua. Ia mengatakan bahwa keluarga Lukas Enembe termasuk Kepala Suku Terbesar di Papua, memegang prinsip aturan adat tersebut.

Adapun Aloysius juga menjelaskan, bahwa Lukas Enembe telah ditetapkan dan dilantik sebagai Kepala Suku Besar Papua pada tanggal 08/10/2022 oleh Dewan Adat Papua (DAP) lewat sidang resmi yang dihadiri Ketua Dewan Adat Papua dari tujuh wilayah adat yaitu (1) wilayah adat Bomberay; (2) Wilayah adat Domberay; (3) Wilayah adat Mepago;(4) Wilayah Adat Lapago; (5) Wilayah Adat Saireri; (6) Wilayah Adat Tabi; dan (7) Wilayah Adat Animha.

Menurut Aloysius, dengan pengangkatan Lukas Enembe sebagai kepala Suku Besar, maka segala masalah yang berhubungan dengan Lukas Enembe harus diselesaikan dengan hukum adat.

“Ada kearifan lokal di tanah Papua, yang harus diperhatikan penyidik KPK untuk memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, sebagai saksi ke Jakarta. Ini sudah merupakan keputusan masyarakat Adat Papua,” jelas Aloysius Renwarin.

Aloysius menekankan agar penanganan perkara hukum Gubernur Papua yang sedang sakit itu harus dilakukan dan dihargai secara budaya. Selain itu, Aloysius meminta agar rekening milik Lukas dibuka kembali dengan alasan kliennya membutuhkan biaya untuk pengobatan penyakitnya.

"Terhadap Gubernur Papua sendiri harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk membiayai pengobatannya,” ujar Aloysius.

247