Home Nasional Amnesty Internasional: Kebebasan Berekspresi “Luka Parah”, Pemerintah Harus Jamin Demokrasi

Amnesty Internasional: Kebebasan Berekspresi “Luka Parah”, Pemerintah Harus Jamin Demokrasi

Jakarta, Gatra.com – Laporan Amnesty International yang dirilis belum lama ini menyatakan, negara terus menekan suara kelompok kritis dan membiarkan tekanan tersebut dilakukan oleh aktor non negara yang rata-rata berakhir dengan impunitas. “Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Usman menyebut, kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah, hal tersebut harus diperbaiki pemerintah Indonesia. Laporan Amnesty International Indonesia bertajuk “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil dengan total setidaknya 834 korban.

Serangan dari atas berasal dari aktor-aktor negara yang sayangnya didominasi oleh kepolisian, lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi masyarakat dalam mengekspresikan pikiran, pendapat, atau kritik atas kebijakan negara. Sedangkan, serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.

Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi, dan demonstran.

Laporan ini disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.

“Peretasan terhadap puluhan jurnalis Narasi akhir September membuktikan masalah ini masih terus berlanjut,” kata Usman. Dari 23 sampai 30 September 2022, setidaknya 37 anggota tim redaksi Narasi TV menjadi korban peretasan atau percobaan peretasan. Situs Narasi pun mendapatkan serangan DDoS yang menyertakan ancaman pembunuhan berpesan “Diam atau Mati!”

Sejak 2020 hingga Juni 2022, berbagai survei memperkuat indikasi tergerusnya kebebasan sipil. Survei Indikator Politik Indonesia, misalnya, menemukan 60,7% responden setuju bahwa saat ini orang-orang lebih takut menyuarakan pendapat mereka, 57,1% merasa lebih sulit untuk menggelar demonstrasi, dan 50,6% berpikir bahwa semakin banyak orang yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh pemerintah karena perbedaan pendapat dengan penguasa.

“Sebagian besar pelaku serangan dan ancaman ini tidak mendapat hukuman dari negara. Akibatnya menciptakan iklim ketakutan,” kata Usman. “Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, ruang publik untuk berpendapat semakin menyempit, bahkan bisa jadi menakutkan, sehingga berisiko besar bagi masa depan situasi kebebasan berpendapat di negara ini,” ujarnya.

260