Jakarta, Gatra.com – PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai penyelenggara kompetisi Liga 1 masih belum buka suara terkait tanggung jawab Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang menewaskan ratusan korban jiwa.
Gatra.com sudah berupaya meminta penjelasan kepada pihak PT LIB sebanyak dua kali. Namun, Direktur Utama PT LIB, Akhmad Hadian Lukita, dan Direktur Operasional PT LIB, Sudjarno, tidak merespons permintaan konfirmasi dari Gatra.com. Keduanya belum memberi penjelasan sepatah kata pun hingga artikel ini ditulis.
Baca juga: Update Tragedi Kanjuruhan: Korban Jiwa Bertambah 6, Total 131
Walau begitu, sesaat selepas kejadian mematikan itu, Akhmad sempat mengungkapkan bela sungkawa. “Kami ikut berduka cita dan semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua,” katanya seperti dilansir laman resmi PT LIB, Minggu, (2/10/2022).
Seperti diketahui, PT LIB menjadi salah satu pihak yang paling disorot atas kejadian nahas di Kanjuruhan. Menurut catatan Koordinator Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali, pihak Polresta Malang dan panitia pelaksana (panpel) Arema sudah meminta agar PT LIB mengubah jadwal dari malam ke sore. Akan tetapi, PT LIB menolaknya dengan alasan yang sampai hari ini belum diketahui pasti.
Akmal menduga bahwa PT LIB terlalu mengedapankan kepentingan komersil ketimbang keselamatan penonton. Pasalnya, PT LIB disebut tak bisa melobi televisi swasta yang bersikukuh menayangkan laga Arema vs Persebaya di prime time malam hari.
Baca juga: Keluarkan Somasi, Aremania Tuntut Presiden Hingga Ketum PSSI Minta Maaf Atas Tragedi Kanjuruhan
“Karena sudah ada kesepakatan pertandingan ini masuk jam prime time. Artinya rating lebih penting dari keselamatan manusia. PT LIB tidak punya sense of crisis bahwa ini pertandingan yang riskan. Mereka hanya berpikir soal duit. Kalau gak ditayangkan malam, mereka kena denda sama pihak broadcaster. Jadi nyawa manusia lebih murah dibanding duit dan rating. Ini kesalahan PT LIB,” kata Akmal kepada Gatra.com, Selasa, (4/10/2022).
Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu peristiwa kelam sepak bola dunia. Di level Asia, tragedi ini menjadi yang terbesar. Sementara di level global, kejadian ini menjadi yang terbesar kedua setelah kejadian di Estadio Nacional, di Lima, Peru, pada 24 Mei 1964 yang memakan korban sebanyak 328 orang.
Menurut pembaruan data dari Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol. Dedi Prasetyo, jumlah korban teranyar adalah sebanyak 131 orang. Jumlah tersebut didapatkan melalui verifikasi bersama antara Dinas Kesehatan setempat, Tim DVI, dan direktur di beberapa rumah sakit. “Jadi data korban meninggal 131 orang,” katanya seperti dilansir Antara Kaltim, Rabu, (5/10).
Angka tersebut bertambah sebanyak 6 korban jiwa dari angka terkonfirmasi sebelumnya, yaitu 125 orang. Dengan demikian, Tragedi Kanjuruhan melampaui posisi tragedi Accra Sports’ Stadium di Accra, Ghana, pada 9 Mei 2001, di daftar tragedi paling mematikan di dalam sejarah sepak bola dunia. Tragedi di benua Afrika tersebut memakan korban sebanyak 126 jiwa.