Jakarta, Gatra.com- Pandemi Covid-19 menyadarkan semua pihak bahwa ketersediaan obat, termasuk yang berbasis bioteknologi sangat penting dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Strategi merger menjadi salah satu pilihan perusahaan farmasi dunia untuk menghadapi tantangan kesehatan.
Demikian hal itu diungkap oleh pakar farmasi, Dr Raymond Tjandrawinata dalam buku terbarunya yang berjudul “Strategi Merger dan Akuisisi, Pada Perusahaan Farmasi Besar Dunia Bidang Farmasi dan Biolteknologi.” Dalam bukunya tersebut, iamengungkapkan pentingnya ketersediaan produk farmasi baik pada saat terjadi pandemi maupun tidak dengan mendorong perusahaan-perusahaan farmasi kelas dunia untuk menyikapinya lewat manajemen modern.
Perusahaan farmasi dan bioteknologi kelas dunia, melakukan praktik merger dan akuisisi yang diprediksi semakin mencuat terutama pada saat pasca pandemi Сovid-19. Raymond menceritakan pengalaman saat bekerja pada salah satu perusahaan farmasi terkemuka, SmithKline Beecham Pharmaceuticals (SB) di South San Francisco, CA. Baca juga: BPOM Ingatkan Industri Farmasi Harus Lakukan PASS
Pada tahun 1998-2000, SB mempersiapkan diri untuk bergabung (merger) dengan perusahaan dunia lainnya, Glaxo Welcome (GW), hingga akhirnya bergabung menjadi GlaxoSmithKline (GSK) dengan valuasi gabungan saat itu sebesar USD 180 juta. Hasil dari penggabungan itu tentunya sudah termasuk dalam literatur klasik manajemen strategis perusahaan.
Teknologi Farmasi, Genetika dan Imunoterapi
Raymond menyebut bahwa industri farmasi menyadari dampak dan perubahan besar dari tekanan penetapan harga dan langkah ke arah pencegahan, diagnosis, dan pengobatan. Perubahan-perubahan ini mengubah tatanan yang sudah ada dan membuka pintu bagi persaingan baru terutama pasca pandemi Сovid-19.
Serta memaksa perusahaan untuk memikirkan kembali di mana mereka bermain dan dengan siapa mereka bermain, membutuhkan penekanan yang semakin besar pada kolaborasi dan kemitraan. Secara keseluruhan, ada tiga 'bidang bermain' baru yang muncul sebagai respons terhadap gelombang kesehatan pasca Covid-19, yakni teknologi farmasi, genetika, dan imunoterapi.
"Semakin banyak perusahaan farmasi dan alat kesehatan bermitra dan berintegrasi dengan bisnis teknologi dalam upaya untuk mengatasi penyakit diabetes yang besar dan meningkat," ungkap Raymond. Baca juga: Good Doctor Technology Indonesia Dukung BPJS Kesehatan Akses Telemedicine
Sebagai contohnya adalah Sanofi dan Verily, unit sains hayati dari induk Google Alphabet yang mengumumkan pada September 2016 bahwa mereka akan menginvestasikan sekitar US$500 juta dalam usaha patungan untuk menggabungkan perangkat, perangkat lunak, dan obat-obatan. Namun, bila kita melihat aktivitas investasi Google Alphabet, jelaslah bahwa perawatan merupakan bagian utama dari kesepakatan dan ini.
Sejak tahun 2020, raksasa teknologi dan dana ventura afiliasinya telah melakukan 25 deals terkait kesehatan yang secara kolektif bernilai lebih dari $1,6 miliar. "Aksi korporasi terkait kesehatan di mana perusahaan dan afiliasi berpartisipasi berjumlah lebih dari 100 dalam dua tahun terakhir," jelas dia.
Hingga saat ini, Alpha afiliasinya telah terlibat dalam 76 deals untuk perusahaan kesehatan dan bioteknologi, dengan besaran secara kolektif bernilai lebih dari $4 miliar. Beberapa perusaaan portofolionya telah melakukan penilaian benilai miliaran dolar, termasuk platform skrining kanker Grail, perusahaan penyunting gen Editas, serta penyedia perawatan primer One Medical. Baca juga: Di Presidensi G20, Indonesia Harus Jadi Panutan Pengembangan Green Pharmacy
Banyak contoh merger dan akusisi dari korporasi farmasi internasional yang disajikan dalam buku ini, sehingga dapat menjadi rujukan ketika hedak menentukan format yang tepat saat hendak melakukan akusisi dan merger. Namun, menurutnya, apakah format ini cocok jika diterapkan di perusahaan farmasi nasional?.