Temanggung, Gatra.com - Tahun ini benar-benar jadi yang terburuk bagi Suyadi. Hasil panennya tidak memuaskan. Daun tembakau yang ditanamnya selama enam bulan banyak rusak.
Curah hujan yang tinggi jadi faktor utama. Hanya 60% yang bisa dipanennya tahun ini. Sebagiannya juga kurang bagus. Padahal, biasanya tembakau milik Suyadi punya kualitas terbaik.
"Kualitas tembakau itu cenderung bagusnya di cuaca kering, kena hujan juga kualitasnya menurun," kata Petani tembakau asal Desa Legoksari, Tamanggung, Jawa Tengah ini dikediamannya pada Jumat (30/9).
Baca juga: APTI: Kenaikan Tarif CHT Berdampak Langsung ke Petani Tembakau
Belum lagi, harga jual tembakau yang terus anjlok. Paling mahal, tembakau miliknya hanya dihargai Rp60.000 per kilogram. Sebelumnya Suryadi bisa mengantongi sampai Rp100.000 per kilogram.
Suyadi mengaku harga jual ini membuatnya rugi. Di harga jual tembakau Rp100.000 per kilo saja Suyadi hanya bisa mengantongi sedikit keuntungan.
Lagi-lagi, tarif cukai jadi penyebab anjloknya harga tembakau petani. Para tengkulak yang datang, selalu beralasan sama. Cukai naik, harga tembakau turun.
Baca juga: Presiden Jokowi Diminta Percepat Revisi PP 109 Tahun 2012
Sayang, Suyadi hanya orang desa. Berita kenaikan tarif cukai jarang diketahuinya lewat media massa. Hanya dari cerita para tengkulak.
"Karena cukai naik maka yang ditekan itu dari bahan baku. Di antaranya cengkeh dan tembakau," ucapnya.
Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Suyadi pun harus kembali menghadapi kesulitan. Pupuk yang dibutuhkan untuk tembakaunya mulai susah dicari.
Kesulitan pupuk ini akibat dampak pencabutan subsidi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi. Pupuk dari golongan ZA, SP 36, dan organik granula yang sangat dibutuhkan dalam pertanian tembakau juga termasuk di dalamnya.
"Sebenarnya ada bantuan pupuk melalui kelompok tani, cuma tidak merata karena tidak semua kelompok tani mendapatkan bantuan itu," Suyadi mengatakan.
Pencabutan subsidi pupuk ini juga menyebabkan kenaikan biaya produksi. Lantaran ketersediaan yang minim, harganya jadi melambung tinggi.
"Jika awalnya biaya prduksi Rp60 juta sekarang bisa sampai Rp80 juta," keluhnya.