Jakarta, Gatra.com – Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengatakan, pemerintah Indonesia harus serius mempersiapkan skenario melepaskan ketergantungan dari produsen sekaligus eksportir batu bara.
“Dunia akan meninggalkan energi fosil ini seiring dengan semakin terjangkaunya energi terbarukan,” kata Aryanto dalam keterangan pers, Kamis (29/9).
Menurutnya, Indonesia harus mempersiapkan rencana karena tren global menunjukan bahwa dunia perlahan mengurangi ketergantungannya kepada batu bara. India merupakan negara kedua tujuan ekspor batu bara Indonesia, pada tahun 2020 tercatat 97,5 juta ton batu bara yang diekspor ke sana.
Sementara itu, rancangan rencana ketenagalistrikan nasional (National Electricity Plan/NEP) India menunjukkan adanya peningkatan solar dan penurunan kapasitas PLTU batu bara di 2030. PLTU batu bara dalam bauran pembangkit listrik di India akan menurun menjadi 50% pada tahun 2030 dibandingkan dengan kontribusi saat ini sebesar 70%.
NEP India memperlihatkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas pembangkit tenaga surya terpasang pada tahun 2027, 2030, dan juga revisi penurunan kapasitas batu bara terpasang jika dibandingkan dengan laporan Bauran Kapasitas Pembangkitan Optimal Otoritas Listrik Pusat (Central Electricity Authority’s Optimal Generation Capacity Mix) yang dirilis pada tahun 2020.
Baca Juga: Diduga Bank Danai Batubara, Langgar Asas Prudential Banking, Ini Tanggapan Pakar
Di sisi lain, kata Aryanto, sebenarnya Indonesia telah lama mematok batas ekspor batu bara hingga 400 juta ton pada 2019 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) sayangnya hal tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten.
Menurutnya, dampak tidak dijalankannya pengendalian produksi sebagai amanat RUEN, berakibat pada sulitnya Indonesia lepas dari jebakan “volatility” ekonomi batu bara, termasuk minim skenario mitigasi dari makin menurunnya permintaan global batu bara, serta terhambatnya transisi energi.
“Selain itu, konsekuensi dari 'obral' ekspor lebih banyak batu bara. Artinya, terjadi bukaan lahan dan emisi yang besar dari aktivitas ekstraksi batu bara tersebut,” ujarnya.
Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, mengatakan bahwa manuver transisi energi yang terjadi di kawasan sebagaimana kebijakan ketenagalistrikan India, harus menjadi sinyal penting bagi Pemerintah Indonesia untuk segera menyusun peta jalan transisi energi berkeadilan dan memastikan implementasinya dari sisi hulu hingga hilir.
“Ketika dinamika energi global mengarah pada upaya transisi energi energi terbarukan, menunda percepatan transisi energi di dalam negeri berarti akan meningkatkan potensi risiko, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan,” ujarnya.
Ke depan, pasar ekspor batu bara akan semakin berkurang drastis. Kecenderungan ini tidak terhindarkan dan harus disikapi secara strategis, bukan dengan meningkatkan serapan hasil produksi batu bara nasional melalui rencana pemerintah untuk masih menambah PLTU batu bara secara masif hingga 2032 ataupun proyek penggunaan produk turunan batu bara, seperti gasifikasi.
Revisi tersebut, tampaknya melebihi komitmen yang dibuat oleh Perdana Menteri Narendra Modi di KTT Perubahan Iklim COP26, Glasgow, tahun lalu. Menurut NDC India yang telah diperbaharui, negara itu akan meningkatkan total porsi kapasitas non-fosil terpasang menjadi 50% pada tahun 2030. Namun, menurut rancangan rencana listrik, India akan memiliki 57% kapasitas non-fosil pada tahun 2027 dan 68% kapasitas terpasang non-fosil pada tahun 2032.
Dibandingkan dengan rencana listrik India sebelumnya yang dirilis pada tahun 2018, India diharapkan memiliki 150 GW kapasitas surya terpasang pada tahun 2027. Rancangan rencana ketenagalistrikan baru meningkatkan target ini dengan tambahan 36 GW menjadi 186 GW pada tahun 2027.
Menurut Ember's Electricity Data Explorer, energi terbarukan India kapasitas telah tumbuh pada tingkat pertumbuhan rata-rata 19% per tahun antara2016 hingga 2021.
Baca Juga: Indonesia Ke-5 Terbesar di Dunia dalam Emisi Karbon Batubara
Ekonom Energi dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Vibhuti Garg, mengatakan, draf rancangan ketenagalistrikan India menunjukkan bahwa negara itu bertujuan mengandalkan tenaga surya untuk sebagian besar kebutuhan listriknya di masa depan.
“Ini adalah lompatan besar, dan melihat tren peningkatan pertumbuhan energi surya hingga dua digit selama 5 tahun terakhir, industri energi surya India tampaknya akan “meledak”.
“Menetapkan target tenaga surya sebesar 333 GW merupakan indikasi yang jelas bagi sektor manufaktur India untuk berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas manufaktur dalam negeri,” katanya.
India meningkatkan kapasitas terpasang tenaga surya dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 47% per tahun antara 2016–2021. Dibandingkan dengan pertumbuhan dua digit dalam ekspansi kapasitas tenaga surya, tenaga angin melihat tingkat pertumbuhan satu digit sebesar 7% selama periode yang sama. India adalah produsen, konsumen sekaligus importir kedua terbesar di dunia.
Konsumsi batu bara India pertama kalinya mencapai 1 miliar ton pada tahun fiskal 2021/2022, dengan level produksi domestik saat ini telah mencapai 770 juta ton yang sisanya ditutup dari impor, salah satu pemasok terbesarnya adalah Indonesia.