Jakarta, Gatra.com - Pembangunan sarana dan prasarana oleh swasta dan pemerintah semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia. Oleh karena itu, harga tanah semakin mahal, kebutuhan dan konflik tanah semakin meningkat.
“Salah satu penyebab meningkatnya konflik tanah di Indonesia, karena pemerintah masih mengakui hak-hak barat yang berasal dari Hak Eigendom, Hak Erfpacht dan Hak Opstal, Hak Gebruik, dan Hak Vruchtgebruik, karena pemerintah masih memberikan hak- hak atas tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dan diberikan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak-hak barat,” kata B. F. Sihombing, Pakar Hukum, Ahli Agraria, Pertanahan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila dalam acara Pengukuhan 5 Guru Besar Universitas Pancasila di Gedung Serbaguna UP, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Sihombing memaparkan ada lima faktor penyebab konflik tanah hak-hak barat yang masih berlanjut di Indonesia. Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah Partikelir.
“Dulu jumlah luas tanah Partikelir sama dengan 2 juta hektar dan 200.000 bidang yang di dalamnya ada Hak Barat, yang dimiliki orang Eropa, Timur Asing, dan Badan Hukum Asing. Kemudian sejak tahun 1958, pemerintah mau menghapus menjadi tanah Negara, melalui cara: 1. Memberikan Sertipikat kepada pemiliknya, dan 2. Memberikan ganti kerugian kepada pemiliknya,” jelasnya.
Maka dengan adanya pengakuan peraturan ini terhadap bukti-bukti hak lama, sebagai data yuridis untuk melengkapi permohonan sertipikat tanah, maka semakin banyak muncul konflik tanah yang berasal dari hak-hak barat terus berlanjut dan meningkat.
Baca juga: Komplotan Koruptor di Dispora Kepri Segera Disidangkan
Meningkatnya konflik tanah di Indonesia dapat dilihat juga dari struktur organisasi Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Kepala BPN. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang, adanya Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemamfaatan Ruang Dan Tanah, dimana sebelumnya belum ada Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemamfaatan Ruang Dan Tanah atau naik jadi Aselon I.
Baca juga: Pengacara Benarkan Lukas Enembe Punya Tambang Emas Di Tolikara
Ada pula kejanggalan dalam Pasal 24 ayat (2) dimana jika seseorang tidak memiliki surat-surat tanah (data yuridis), hanya mendalilkan sudah menguasai tanah selama 20 (dua puluh) tahun, bisa membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik dari pemohon.