Jakarta, Gatra.com - Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang menaungi beberapa universitas terbaik dunia–mulai dari universitas-universitas Ivy League (Universitas Brown, Universitas Columbia, Universitas Cornell, Perguruan Tinggi Dartmouth, Universitas Harvard, Universitas Pennsylvania, Universitas Princeton, dan Universitas Yale) hingga Universitas Oxford serta Universitas Cambridge yang tergolong sebagai universitas tertua di dunia–kerap menjadi destinasi favorit orang tua yang ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, tidak terkecuali para orang tua Indonesia.
Universitas-universitas tersebut dikenal memiliki sarana dan prasarana yang tidak sekadar memadai, melainkan berlimpah. Selain jaringan alumni yang ekstensif dan reputasi universitas yang menjanjikan segudang peluang berkarier, adanya laboratorium riset dengan teknologi termutakhir yang kaya akan inovasi, tenaga pengajar berpengalaman yang telah meraih berbagai penghargaan, hingga ratusan lembaga kemahasiswaan yang inklusif dan mampu memayungi keragaman mahasiswanya pun menghasilkan daya tarik tinggi.
Namun, menembus universitas kelas dunia bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap tahunnya, universitas-universitas unggulan di AS dan Inggris menerima puluhan ribu aplikasi dari seluruh dunia dan hanya meloloskan sebagian kecilnya.
Sebagai contoh, pada tahun ajaran 2022 ini, Harvard University hanya menerima 4,59% dari 42.749 pelajar yang melamar. Beratnya kompetisi menjadi pemicu utama bagi pelajar-pelajar berprestasi seluruh dunia untuk membangun profil yang sebaik-baiknya. Namun, prestasi akademis saja tidaklah cukup untuk menjamin keberhasilannya.
Dalam kegiatan Extracurricular & Leadership Building Profile Seminar with Crimson Education yang berlangsung di Goodrich Suites Artotel Portfolio (24/09) di bilangan Jakarta Selatan, Lyn Han, seorang Former Alumni Interviewer di University of Chicago dan US University Admissions Strategist memberikan penjelasan mengenai skema seleksi universitas penerimaan di AS dan Inggris yang bersifat holistik.
“Selama ini, ada anggapan yang kuat bahwa pelajar yang memiliki nilai rapor sempurna pasti bisa menembus universitas unggulan seperti Harvard University atau University of Oxford. Pencapaian akademis memang penting, tetapi bukan golden ticket yang dapat menjamin keberhasilan seseorang dalam menembus universitas kelas dunia,” jelas Lyn Han.
Dengan pendekatan holistik yang memungkinkan calon mahasiswa dinilai secara utuh, bakat dan minatnya pun menjadi penting untuk penilaian dalam seleksi penerimaan universitas.
Vanya Sunanto, Country Manager Indonesia di Crimson Education memaparkan bahwa adanya perbedaan antara pendekatan dalam sistem pendidikan di Indonesia yang cenderung mengutamakan pencapaian akademis dengan sistem pendidikan di AS dan Inggris yang cenderung holistik inilah yang dijembatani oleh Crimson Education melalui layanan konsultasi dan bimbingan seleksi penerimaan universitas di AS dan Inggris.
“Semuanya kami lakukan secara strategis dan statistik kami telah membuktikan bahwa pendekatan ini memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik daripada pendekatan yang semata-mata mengandalkan pencapaian akademis,” jelas Vanya Sunanto
Menurut Vanya Sunanto, profil ekstrakurikuler dan kepemimpinan yang kuat dapat dibangun dari ide yang sederhana atau bahkan kegemaran pribadi, selama disertai dengan konsistensi.
Ia lalu mengisahkan salah satu alumnusnya. “Kami memiliki seorang alumnus yang sejak kecil gemar merakit slot car, karena kegemaran tersebut membangun hubungan yang kuat antara ia dengan ayahnya. Setelah menggemari slot car selama bertahun-tahun, tumbuhlah ketertarikan terhadap engineering dalam dirinya. Ia mulai bercita-cita untuk memelajari engineering pada tingkat perguruan tinggi," katanya.
Namun, selain mengambil beberapa kursus singkat, ia tidak memiliki pencapaian besar untuk memperkuat profilnya dalam seleksi penerimaan universitas di AS maupun Inggris. "Setelah mendaftar layanan Crimson, kami membimbingnya untuk aktif berkompetisi, menjuarai kompetisi-kompetisi yang ia ikuti, dan meluncurkan inisiatif podcast dengan menghadirkan pakar-pakar engineering sebagai tamunya," ujar Vanya.
Alhasil, ia diterima di Imperial College London, University of Leicester, University of Nottingham, University of Southampton, UC Berkeley, dan Purdue University sekaligus. "Melihat keberhasilan seorang pelajar Indonesia seperti itu benar-benar membanggakan,” katanya.
Dalam seleksinya, universitas-universitas unggulan di AS menilai semua calon mahasiswanya berdasarkan tiga hal utama: pencapaian akademis (dengan bobot penilaian sebesar 40%); profil ekstrakurikuler dan kepemimpinan (dengan bobot penilaian sebesar 30%); serta esai dan wawancara (dengan bobot penilaian sebesar 30%).
Universitas-universitas tersebut tidak mencari mahasiswa yang sekadar cemerlang secara akademis, melainkan mahasiswa yang cerdas, kreatif, berinisiatif tinggi, dan memiliki jiwa kepemimpinan. Mereka mencari sosok yang memiliki semangat untuk menciptakan perubahan di dunia.
Di sinilah peranan profil ekstrakurikuler dan kepemimpinan dalam memperkuat aplikasi calon mahasiswa. Kegiatan ekstrakurikuler dan kepemimpinan yang terbukti membawa manfaat atau memberikan dampak sosial, meskipun pada skala kecil, akan semakin memberikan nilai lebih.