Jakarta, Gatra.com - Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kasus kematian Brigadir J masih terus bergulir. Ferdy Sambo (FS) juga telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, namun proses pengadilan belum juga dilakukan. Kepolisian justru menindak pelanggaran etik atas obstruction of justice pada kasus ini. Sanksinya tidak main-main pemecatan tidak hormat sebagai anggota kepolisian.
Usman Hamid, mempertanyakan seharusnya perkara obstruction of justice dalam kasus ini perlu ditindaklanjuti secara pidana, bukan cuma melalui kasus sidang etik yang berlangsung di kepolisian.
Baca Juga: Komite Pengacara HAM Desak Polri Gelar Rekonstruksi Suara Tembakan Kasus Brigadir J
"Apakah hukum pidana digunakan dalam obstruction of justice? Polisi hanya menggunakan obstruction of justice dalam pengertian etik, karena itu yang diperiksa pelanggaran etika. Padahal, etika secara tidak langsung bisa berhubungan dengan kejahatan," ujarnya pada diskusi yang digelar Public Virtue, Selasa (27/9).
Menurut Usman, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 221 menyatakan bahwa pelaku yang terbukti berupaya untuk menghalang-halangi atau merintangi suatu proses hukum bisa menjadi suatu tindak pidana.
Menurutnya, perusakan barang bukti yang dilakukan juga harus dituntut dengan hukuman pidana dan bukan hanya melalui proses Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang selama ini dilakukan Polri.
Baca Juga: Kejagung Terima Berkas Perkara Tujuh Tersangka Obstruction Of Justice, Ini Daftarnya
“Proses penindakan kepolisian atas obstruction of justice belum optimal,” ujarnya.
Usman mengatakan bahwa perkara ini mengalami antiklimaks, bukan hanya karena penindakan etis yang tidak menyentuh pokok perkara, melainkan perkembangan kasus ini sendiri.
"Proses pengembalian berkas perkara antara pihak kejaksaan dan kepolisian menunjukkan bahwa kasus masih ini terkesan jalan di tempat," katanya.
Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak mengatakan bahwa kasus ini menjadi momentum untuk melihat adanya 'bolong-bolong' dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas penegakan hukum di Indonesia.
Barita menilai bahwa dari kasus Brigadir J, kekuasaan polisi yang begitu besar bisa terlihat. Menurutnya, proses penyelidikan yang saat ini berjalan seharusnya bisa disertai dengan pengawasan dari pihak penuntut atau kejaksaan.
Baca Juga: Amnesty International Desak Usut Penembakan di Papua
"Harusnya penyidikan bisa di-supervisi dengan (pihak) penuntutan. Ketika penyidikan melibatkan oknum, maka cabang lembaga lain bisa membantu," paparnya.
Reformasi hukum, lanjut Barita menjadi penting, terlebih dengan penguatan KUHP terkait kerja lembaga tertentu agar bisa dioptimalkan. Selain itu, koordinasi antar lembaga juga diperlukan demi mewujudkan keadilan.
"Kita memilih agenda pembaharuan hukum, pembangunan hukum, termasuk penegakan hukum. Kolaborasi penegak hukum ditunjukkan dengan penanganan yang bisa mengakomodasi keamanan," ujarnya.