Jakarta, Gatra.com - Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hadi Tjahjanto, telah mencapai 100 hari masa kerja. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, menyoroti langkah yang diambil selama masa kepemimpinannya.
"Sumber masalah dari kebijakan Presiden Joko Wododo, karena mendewakan investasi. Investasi itu membutuhkan tanah, dan mafia tanah berkaitan dengan investor," jelasnya pada acara diskusi yang diselenggarakan PARA Syndicate, Senin (26/9).
Selain itu, budaya pungutan liar dan korupsi juga menjadi permasalahan yang disorot. Menurutnya, itu adalah permasalahan yang tidak bisa disentuh oleh Menteri ATR/BPN. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris menjadi sumber masalah.
Baca juga: 100 Hari Jabat Menteri ATR/BPN, Hadi Tjahjanto Temukan Modus Baru Mafia Tanah, Ini Triknya
Trubus menyebutkan bahwa masyarakat perlu dilibatkan untuk menghentikan upaya mafia tanah. Menurutnya, masyarakat perlu dibekali literasi dan wawasannya agar tidak tergoda mafia tanah. Bagi Trubus, ini diperlukan karena kejahatan mafia tanah paling banyak terjadi di desa-desa.
Dari sisi kebijakan, Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria harus direvisi. Trubus menerangkan bila lokasi prioritas itu perlu diperjelas kriterianya, serta siapa yang mengusulkan.
Baca juga: Kasus Mafia Tanah Makin Merajalela Hingga Puluhan Tahun, Ulah Siapa?
"Ini harus jelas, transparan, clear. Diperjelas juga mengenai kewenangan Gugus Tugas Reforma Argaria, ditambah (kewenangan) untuk pusat dan daerah sekaligus menyelesaikan konflik pertanahan kerangka reforma agraria," tuturnya.
Mengenai penegakkan hukum menjadi hal yang disinggung Trubus. Ia menyoroti bagaimana penegakkan hukum antara pengusaha dan Pemerintah Daerah, terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah itu sendiri.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan perlunya koordinasi antar-lembaga negara dalam upaya pemberantasan mafia tanah. Menurutnya, kebanyakan lembaga berfokus pada ego sektoral, sehingga publik memahaminya terjadi pembiaraan, dan penyelesaian tidak berjalan secara optimal.
"Perlu menguatkan kolaborasi antara kementerian dan lembaga. Jangan sampai masyarakat jadi korban terus, apalagi mereka yang tidak punya power dan perlindungan hukum," ucapnya.