Jakarta, Gatra.com - Kalau mau, sebetulnya bukan perkara sulit membikin program Beasiswa Sawit yang sudah dijalankan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atas rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjendbun) itu berkelas.
Untuk ini dasarnya sangat kuat. Pertama, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah program utama Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini dengan konsep full pembiayaan.
Kedua, program ini tidak memberatkan keuangan negara lantaran sumber duitnya bukan langsung dari APBN, tapi duit pungutan (levy) yang berasal dari aktifitas ekspor produk sawit.
Ketiga, jika dibandingkan dengan kebutuhan duit untuk mensubsidi biodiesel atau minyak goreng, duit untuk ini cuma sauprit alias sangat kecil.
Kalau untuk biodiesel bisa habis Rp56 triliun setahun dan untuk migor Rp3,6 triliun --- bahan paparan BPDPKS pada Rapat Dengar Pendapatan dengan Komisi IV DPR --- untuk beasiswa ini paling banter Rp500 miliar. Sangat kecil sesungguhnya.
Tapi apa mau dikata, meski pengembangan SDM ini program utama dan bersifat affirmative action (pengkhususan untuk mencapai tujuan tertentu), tapi pelaksanaannya justru keterbatasan anak-anak petani sawit dipelosok-pelosok desa dijadikan alasan untuk menyingkirkan anak-anak itu. Jadi, boleh dibilang program ini berjalan ala kadarnya atau Rancak di Labuah (bagus luarnya saja).
Baca juga: 'Roh' Beasiswa Sawit Melenceng, Anak Petani Puyeng
Tengoklah kenyataan yang ada. Begitu anak petani atau buruh sawit dinyatakan lulus, biaya untuk berangkat dan pemondokan, musti ditalangi dulu oleh si yang lulus, itupun pengembaliannya (reimburse) bisa menunggu sampai enam bulan (hasil survey DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), 2021).
Kalau pun kemudian ada inisiatif mendahulukan, paling dari kampus yang dituju. Itupun konon hanya dua kampus yang rutin melakukan. Selebihnya buang badan.
Lalu setelah proses perkuliahan di kampus tujuan berjalan, si mahasiswa cuma kebagian duit bulanan sekitar Rp1,4 juta hingga Rp1,5 juta sebulan. Tergantung strata yang diambil si mahasiswa.
Hasil survey Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) awal tahun ini menyebutkan, duit sebanyak itu hanya cukup untuk setengah bulan.
Biar si mahasiswa tetap hidup hingga akhir bulan, terpaksa utang sana sini atau minta kirim duit dari orang tuanya. Itupun kalau orang tuanya punya uang, kalau dengan kondisi harga TBS sekarang, tentu semakin rancak di labuah lah brosur beasiswa sawit itu.
“Dari kenyataan yang ada inilah makanya tahun ini, kami minta uang bulanan mahasiswa ini dinaikkan minimal Rp2,5 juta sebulan,” kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, kemarin.
Lagi-lagi Doktor Lingkungan Universitas Riau ini menyebut, kalaupun duit bulanan mahasiswa itu ditambah, enggak akan memberatkan negaralah. Sebab semua duit yang dikelola oleh BPDPKS, bukan kucuran APBN tapi dari dana Pungutan Ekspor (PE) yang saban waktu dipungut dan dikelola oleh BPDPKS.
“Siapa bilang BPDPKS tidak ada uang masuk sejak PE di nolkan? Tetap ada, PE nol itu hanya untuk beberapa produk saja, Crude Palm Oil (CPO) misalnya. Tiga bulan lalu kami mencatat, petani sawit menyumbang --- terbebani --- Rp600/kg Tandan Buah Segar (TBS). Saat itu PE dipatok USD200/ton CPO,” rinci ayah dua anak ini.
“Jangan kalau untuk kepentingan subsidi minyak goreng, ratusan miliar rupiah gampang sekali digelontorkan. Begitu juga untuk biodiesel, triliunan rupiah gampang saja mengalir. Giliran untuk kebutuhan SDM anak-anak kami sangat dihemat-hemat. Padahal asal tahu saja, dengan pendidikan lah, derajat SDM kami petani sawit bisa setara. Lantaran itu, tolong, jangan main-main dengan dana SDM ini,” pinta Gulat.
Saking seriusnya soal SDM anak petani dan buruh sawit ini, asosiasi petani kata Gulat akan mengajukan quota mahasiswa ke BPDPKS sebanyak 250 orang dengan konsep full kebijakan menuju kesetaraan (full affirmative action).
Nanti, quota ini akan diberikan kepada anak-anak yang layak menerima --- dengan segala keterbatasan dan kebutuhan daerah. Biar ini berjalan lancar, kampus IPB, UGM, dan kampus vokasi sawit lainnya di daerah akan digandeng.
“Kampus yang kami gandeng akan menyesuaikan dengan kebutuhan kami petani sawit, bukan sebaliknya seperti yang terjadi selama ini. Yang paling penting lagi, persyaratan untuk quota ini anti ribet,” tegasnya.
Angin Segar Dari Gedung C
Apa yang dikeluhkan oleh para petani melalui DPP Apkasindo itu, ternyata langsung sampai ke Gedung C Kementerian Pertanian. Tak sampai 2x24 jam, Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun), Andi Nur Alamsyah langsung mengajak Apkasindo duduk semeja.
Kepada Gatra.com usai pertemuan itu jelang sore tadi, Gulat menyebut kalau Dirjenbun sangat mengapresiasi rumusan dan masukan yang selama ini rutin disampaikan Apkasindo, baik melalui media maupun lewat surat.
“Apkasindo itu lahir dari rahim Ditjenbun 22 tahun lalu, jadi kalian enggak boleh jauh-jauh dari saya”Gulat menirukan omongan Andi.
“Banyak hal yang kami bahas dan kupas pada pertemuan itu. Alhamdulillah, Pak Dirjenbun sangat mengayomi dan mencatat dengan cermat tiga poin topik pembicaraan kami yang antara lain; skala prioritas hambatan PSR, percepatan realisasi Sarpras, khususnya hilirisasi dan terakhir adalah masalah SDM petani sawit-beasiswa,” Gulat mengurai.
Ada satu poin yang langsung clear saat itu juga kata Gulat; masalah beasiswa anak-anak petani dan buruh tani sawit.
“Pak Dirjend langsung menerima usulan Apkasindo. Terus terang, Pak Dirjen kita yang sekarang sangat responsif . Beliau masih sangat muda, kelahiran 1975, tapi narasi resolusinya jauh melebihi ekspektasi saya,” Gulat memuji.
Terlepas dari itu semua, Gulat berterus terang bahwa dia dan Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino, tidak berjuang untuk asosiasi tertentu, tapi untuk petani sawit, khususnya untuk mereka yang dari Indonesia Timur seperti Papua, Papua Barat, Kalimantan dan Sulawesi. "Pokoknya, Apkasindo hadir untuk semua," suara Gulat terdengar bersemangat.
Lantas apa kabar soal penguatan Permentan 01/2018? "Itu sudah clear. DPP Apkasindo sudah memasukkan draft revisi minggu lalu, persis seperti yang diminta oleh Pak Dirjenbun saat rapat (2/9) lalu. Draft itu sudah 3 kali diuji melalui FGD Nasional dengan menghadirkan tiga entitas sawit dan dipandu oleh pakar-pakar dibidangnya," terang Gulat saat Gatra.com menanyakan kabar terbaru soal Permentan itu.
"Untuk detilnya kami akan segera membikin pers rilis, biar kawan-kawan di provinsi sawit kembali tenang. Yuk kita lalui masa-masa sulit ini dengan saling mendoakan," pinta Gulat.
Abdul Aziz