Jakarta, Gatra.com - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal, Bahlil Lahadilia, menjabarkan hasil Pelaksanaan Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) G20 yang dilaksanakan tanggal 22-23 September di Bali.
Hasilnya, negara yang terlibat menyepakati kompendium, yaitu Bali Kompendium. "Bali Kompendium memberi ruang untuk negara G20 menentukan langkah kebijakan investasi strategis apa yang menjadi prioritas dengan memperhatikan keunggulan komparatif," katanya, Senin (26/9).
Menurut Bahlil, cara hilirisasi industri yang ditempuh Indonesia menjadi salah satu topik yang diperdebatkan. Menurutnya, banyak negara maju yang tidak ingin negara berkembang ikut menjadi negara maju. Hal ini dilihat dari banyaknya penolakan terhadap kebijakan hilirisasi.
"Tidak semua negara maju mau negara berkembang jadi negara maju. Hilirisasi ini dilakukan untuk menciptakan nilai tambah. Tidak boleh ada negara lain menghalangi kita tentang hilirisasi," ucapnya.
Bahlil menerangkan bahwa Bali Kompendium menjadi jalan tengah agar negara lain tidak lagi mengintervensi kebijakan di negara masing-masing, termasuk kebijakan hilirisasi di Indonesia. Salah satunya, terkait kewajiban investor untuk berkolaborasi dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Sejak menjadi Menteri Investasi, seluruh proses investasi yang masuk itu harus lewat sebuah kesepakatan dan termasuk di dalam nya kolaborasi, wajib," ujarnya.
Pentingnya skema pendanaan iklim yang adil dan merata untuk mendorong investasi berkelanjutan juga menjadi fokusnya. Menurutnya, investasi berkelanjutan erat kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja.
Namun, isu mengenai harga karbon belum menemui kesepakatan. Bahlil menerangkan jika isu ini tetap akan dibawa di G20 untuk dibahas lebih lanjut, demi memperjuangkan kesetaraan harga karbon di negara maju dan negara berkembang.
"Harga karbon negara maju US$100, negara berkembang hanya US$10 dolar. Di saat bersamaan, sumber karbon terbesar di negara berkembang," ujarnya.