Jakarta, Gatra.com - Kalau menengok tujuh poin kritis yang disodorkan oleh Dewan Pimpinan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) pada konfrensi pers di Sekretariat DPP Apkasindo di kawasan Thamrin Jakarta tadi siang, program Beasiswa Sawit yang dijalankan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak tahun 2016 itu, sudah sangat layak ditinjau ulang. Soalnya, banyak yang sudah melenceng.
“Tujuh poin kritis itu lahir bukan ujug-ujug, tapi rangkuman keluhan dari semua whatsapp group Apkasindo di 146 DPD dan 22 DPW. Yang paling fundamental dan harus selalu diingat adalah bahwa beasiswa sawit ini adalah beasiswa kekhususan (affirmative action). Jadi, sedari awal sudah dirancang untuk ditangani secara khusus, bukan kayak yang terjadi sekarang,” kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung.
Ayah dua anak ini kemudian flashback ke awal-awal hadirnya Beasiswa Sawit tadi. Bahwa anak-anak petani sawit yang tinggal di perkampungan dan bahkan di pelosok yang tergolong terisolir, butuh pendidikan yang lebih layak, khususnya tentang perkelapasawitan.
“Mereka punya banyak keterbatasan. Nah lewat beasiswa ini, keterbatasan ini yang perlu diminimalisir dengan ‘menggendong’ mereka untuk meningkatkan sumber daya nya. Begitu mereka lulus, mereka dikembalikan ke kampungnya untuk mengabdikan ilmunya di perkelapasawitan. Begitu hakikatnya,” ujar doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini.
Awal-awal, proses rekrutmen Beasiswa Sawit ini kata lelaki 49 tahun ini patut diacungi jempol. Selain seleksi diselenggarakan secara langsung --- tidak online --- asosiasi petani juga dilibatkan.
Sayang, cara yang semacam ini cuma sesaat, sebab selanjutnya, proses rekrutmen sudah diberikan ke pihak lain dan bahkan sekarang, penyelenggara rekrutmen Beasiswa sawit ini sudah perusahaan dari Yogyakarta.
Akibatnya, anak petani atau buruh sawit kampung yang mencoba peruntungan di Beasiswa Sawit ini, tidak hanya dipuyengkan oleh rumitnya persyaratan, tapi juga soal-soal ujian. Kepuyengan itupun komplit setelah seleksi dilakukan secara online.
“Roh Beasiswa Sawit yang susah payah kita bangun, buyar sudah. Yang ada sekarang, tidak lagi menengok kondisi. Misalnya quota disesuaikan dengan luasan kebun kelapa sawit. Kelulusan tidak berdasarkan hasil ujian semata. Tapi semuanya sudah berdasarkan hasil tes semata,” air muka Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini nampak murung.
Baca juga: Lulus Beasiswa Sawit, Anak Petani ini Malah Panik. Lho?
Biar roh Beasiswa Sawit ini tak semakin melencenglah makanya kata Gulat, tujuh poin kritis itu disodorkan. Pertama, panitia musti segera membuka data sebaran mereka yang dinyatakan lulus, mulai dari kabupaten, kota dan provinsinya. Lalu, quota masing-masing kampus mitra serta program studi, juga musti dihamparkan.
Kedua, lantaran proses seleksi Beasiswa Sawit ini sudah selalu kisruh --- mulai dari proses seleksi hingga pengumuman kelulusan, uang saku bulanan --- khususnya pada tiga tahun terakhir (2020-2022), DPP Apkasindo minta supaya Ditjendbun dan BPDPKS segera mengevaluasi tatacara penerimaan mahasiswa beasiswa sawit dan pembiayaannya.
“Ajak organisasi petani sawit mendiskusikan model penerimaan mahasiswa baru tahun depan. Tahun 2016-2019 organisasi sawit selalu dilibatkan, khusus proses administrasi pendaftaran dan saat jelang pengumuman, selalu dirapatkan bersama. Ini sudah enggak ada lagi,” katanya.
Ketiga, pendaftaran ulang dan keberangkatan mahasiswa baru ke kampus tujuan, menjadi catatan kritis. “Seperti yang saya bilang tadi, Beasiswa Sawit ini adalah beasiswa kekhususan (affirmative action) untuk anak-anak petani dan buruh tani yang tinggal di pedesaan dan pelosok perkebunan. Dengan segala keterbatasan mereka, mereka perlu penanganan dalam koordinasi yang terpadu,” suara Gulat meninggi.
Keempat, agar BPDPKS dan Ditjenbun segera menaikkan biaya bulanan mahasiwa, pembayarannya harus rutin tiap bulan (tidak dengan sstem rappel atau reimburse).
Kelima, proses seleksi sampai ujian jangan online, sebab anak-anak petani dan buruh tadi di kampung-kampung punya keterbatasan akan jaringan internet. Kemampuan mereka juga sangat terbatas tentang sistem online itu.
Keenam, jumlah mahasiswa yang diterima harus proposional. Luas kebun sawit tiap-tiap provinsi musti jadi acuan dan hasil ujian jangan jadi penentuan final kelulusan.
Terakhir, agar tahun depan diperbanyak kampus mitra dengan menggandeng kampus-kampus di daerah provinsi sawit. “Program studi perkuliahan harus disesuaikan dengan kebutuhan petani sawit, bukan menyesuaikan dengan program studi kampus,” pintanya.
Abdul Aziz